Sabtu, 23 Oktober 2010

Selasa, 19 Oktober 2010

Penting Kuliah Perdata

bab2.1. hukum orang

4. Pertemuan Keempat (K.4)
Manusia Sebagai Subjek Hukum
Pertemuan keempat, merupakan perkuliahan awal yang telah memasuki pembahasan bab 2 yang di bahas adalah hukum tentang orang, namun dalam pembahasannya dikaitkan juga dengan pembahasan hukum perkawinan, hal ini disebabkan bahwa masalah perkawinan dalam sistematika BW/KUHPerdata dimasukan kedalam pembahasan hukum orang, namun pada pertemuan keempat ini pembahasan lebih difokuskan tentang manusia sebagai subjek hukum yang terdapat beberapa aspek yang perlu dibahas di dalamnya, antara alain :
a). Manusia
Manusia adalah pengertian biologis ialah gejala dalam alam, gejala biologika yaitu makhluk hidup yang mempunyai pancaindra dan mempunyai budaya. Sedangkan orang adalah pengertian juridis ialah gejala dalam hidup bermasyarakat. Dalam hukum yang menjadi pusat perhatian adalah orang atau person. Menurut hukum modern, seperti hukum yang berlaku sekarang di Indonesia, setiap manusia diakui sebagai manusia pribadi. Artinya diakui sebagai orang atau person. Karena itu setiap manusia diakui sebagai subjek hukum (rechtspersoonlijkheid) yaitu pendukung hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban perdata tidak tergantung kepada agama, golongan, kelamin, umur, warganegara ataupun orang asing. Demikian pula hak dan kewajiban perdata tidak tergantung pula kepada kaya atau miskin, kedudukan tinggi atau rendah dalam masyarakat, penguasa (pejabat) ataupun rakyat biasa, semuanya sama.
Manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban sebagaimana dimaksudkan, dimulai sejak lahir dan baru berakhir apabila mati atau meninggal dunia. Pengecualiannya sebagai mendukung hak dan kewajiban dalam KUHPerdata ditergaskan pada pasal 2 yang menentukan sebagai berikut :
(1) Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya;
(2) Mati sewaktu dilahirkan, dianggaplah ia tak pernah telah ada".
Ketentuan yang termuat dalam pasal 2 BW di atas ini sering disebut "rechtsfictie". Ketentuan ini sangat penting dalam hal warisan misalnya. Demikian juga dalam pasal 236 KUHPerdata ditentukan; “bahwa seseorang hanya dapat menjadi ahli waris kalau ia telah ada pada saat pewaris meninggal dunia”. Hal ini berarti, bahwa seseorang hanya dapat menjadi ahli waris kalau ia hidup sebagai manusia biasa pada saat pewaris meninggal dunia. Akan tetapi dengan adanya pasal 2 BW, seorang anak yang masih dalam kandungan ibunya sudah dianggap seolah-olah sudah dilahirkan, manakala anggapan ini menjadi keuntungan si anak. Tapi kalau anak dalam kandungan itu kemudian dilahirkan mati, maka ia dianggap sebagai tak pernah telah ada. Artinya kalau anak (bayi) itu lahir hidup, meskipun hanya sedetik dan ini dapat ditentukan maka ia ketika dalam kandungan dianggap sudah hidup, sehingga dalam kandunganpun ia sudah merupakan orang yakni pendukung hak. Pentingnya pasal 2 BW terlihat pada contoh kasus sebagai berikut. Seorang ayah pada tanggal 1 Agustus 1984 meninggal dunia. Pada saat meninggal dunia ini ia mempunyai dua orang anak, sedangkan istrinya dalam keadaan hamil (mengandung).
Seandainya pasal 2 BW tidak ada, maka yang menjadi ahli waris kalau ayah yang meninggal dunia itu tidak meninggalkan wasiat hanyalah dua orang anaknya dan jandanya (istrinya). Pada tanggal 1 September 1984 dalam kandungan istri itu lahir hidup dan segar bugar. Kalu pasal 2 BW itu tidak ada, maka boedel warisan yang ditinggalkan ayahnya hanya dibagi antara saudara-saudaranya dan ibunya, yang masing-masing mendapat sepertiga, sedangka ia yang masih dalam kandungan ketika ayahnya meninggal dunia tidak mendapat apa-apa. Keadaan ini dirasakan tidak adil,
namun keberadaan Pasal 2 BW tersebut dimaksudkan untuk meniadakan ketidakadilan itu, sehingga anak yang ada dalam kandunganpun merupakan ahli waris. Karena itu bagian dari masing-masing ahli waris pada contoh kasus di atas ini adalah seperempat (tiga anak dan seorang istri/janda). Pembagian ini juga berlaku seandainya anak itu hanya hidup sedetik. Adapun bagiannya mendaji warisan. Jadi anak yang hidup sedetik dan kemudian meninggal itu menjadi pewaris. Sedang yang menjadi ahli warisnya adalah saudara-saudaranya dan ibunya.
Sebagaimana telah dikatakan bahwa berakhirnya seseorang sebagai pendukung hak dan kewajiban dalam perdata adalah apabila ia meninggal dunia. Artinya selama seseorang masih hidup selama itu pula ia mempunyai kewenangan berhak. Pasal 3 BW menyatakan :"Tiada suatu hukumanpun mengakibatkan kematian perdata, atau kehilangan segala hak perdata". Tetapi ada beberapa faktor yang mempengaruhi kewenangan berhak seseorang yang sifatnya membatasi kewenangan berhak tersebut antara lain adalah :
1. Kewarga-negaraan; misalnya dalam pasal 21 ayat (1) UUPA disebutkan bahwa hanya warganegara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik;
2. Tempat tinggal; misalnya dalam psal 3 Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1960 dan pasal I Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1964 (tambahan pasal 3a s/d 3e) jo. pasal 10 ayat (2) UUPA disebutkan larangan pemilikan tanah pertanian oleh orang yang bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak tanahnya;
3. Kedudukan atau Jabatan; misalnya hakim dan pejabat hukum lainnya tidak boleh memperoleh barang-barang yang masih dalam perkara.
4. Tingkah laku atau Perbuatan; misalnya dalam pasal 49 dan 53 Undang-undang No. 1 tahun 1974 disebutkan, bahwa kekuasaan orang tua dan wali dapat dicabut dengan keputusan pengadilan dalam hal ia sangat melalaikan kewajibannya sebagai orang tua /wali atau berkelakuan buruk sekali.
b). Ketidak Cakapan
Selanjutnya meskipun setiap orang tiada terkecuali sebagai pendukung hak dan kewajiban atau subjek hukum (rechtspersoonlijkheid), namun tidak semuanya cakap untuk melakukan perbuatan hukum (rechtsbekwaamheid). Orang-orang yang menurut undang-udang dinyatakan tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah :
1. Orang yang belum dewasa, yaitu anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan (pasal 1330 BW jo pasal 47 UU no. 1 tahun 1974);
2. Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan, yaitu orang-orang dewasa tapi dalam keadaan dungu, gila, mata gelap, dan pemboros (pasal 1330 BW jo pasal 433 BW);
3. Orang-orang yang dilarang undang-undang melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya orang dinyatakan pailit (pasal 1330 BW jo UU Kepailitan).
Jadi orang yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang dewasa dan sehat akal fikirannya serta tidak dilarang oleh suatu undang-undang untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu. Orang-orang yang belum dewasa dan orang-orang ditaruh di bawah pengampuan (curatele) dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum diwakili oleh orang tuanya, walinya atau pengampunya (curator). Sedangkan penyelesaian hutang-piutang orang-orang yang dinyatakan pailit dilakukan oleh Balai Harta Peninggalan (weeskamer).
Uraian di atas dapat dikatakan; bahwa setiap orang adalah subyek hukum (rechtspersoonlijkheid) yakni pendukung hak dan kewajiban, namun tidak semua orang cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Orang yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum (rechtsbekwaamheid) tidak selalu berwenang untuk melakukan perbuatan hukum (rechtsbevoegheid). Dengan demikian rechtbekwaamheid adalah syarat umum sedangkan rechtsbevoegheid adalah syarat khusus untuk melakukan perbuatan hukum.
c). Pendewasaan
Dalam sistim hukum perdata (BW), mereka yang belum dewasa tetapi harus melakukan perbuatan-perbuatan hukum seorang dewasa, terdapat lembaga hukum pendewasaan (handlichting), - yang diatur pada pasal-pasal 419 s/d 432. Pendewasaan merupakan suatu cara untuk meniadakan keadaan belum dewasa terhadap orang-orang yang belum mencapai umur 21 tahun. Jadi maksudnya adalah memberikan kedudukan hukum (penuh atau terbatas) sebagai orang dewasa kepada orang-orang yang belum dewasa. Pendewasaan penuh hanya diberikan kepada orang-orang yang telah mencapi umur 18 tahun, yang diberikan dengan Keputusan Pengadilan Negeri. Akan tetapi lembaga pendewasaan (handlichting) ini sekarang sudah tidak relevan lagi dengan adanya Undang-Undang No. 1 tahun 1974 (pasal 47 ayat (1) dan pasal 50 ayat (1) yang menentukan bahwa seseorang yang telah mencapai umur 18 tahun adalah dewasa. Ketentuan Undang-Undang Perkawinan yang menetapkan umur seorang dewasa 18 tahun itu dikuatkan oleh Mahkamah Agung dalam Putusannya tanggal 2 Desember 1976 No. 477 K/Sip/76 dalam perkara perdata antara Masrul Susanto alias Tan Kim Tjiang vs Ny. Tjiang Kim Ho.
Dalam pergaulan hidup di masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang sedemikian banyaknya, maka sudah tentu diperlukan adanya tanda untuk membedakan orang yang satu dengan orang yang lain, selanjutnya untuk mengetahui apa yang merupakan hak-haknya dan apa pula yang merupakan kewajiban-kewajibannya tandan yang diperlukan ialah nama.

d). Nama
Bagi golongan eropah dan mereka yang dipersamakan, soal nama mereka ini diatur dalam Buku I titel II bagian kedua (pasal 5 a s/d 12) yang menentukan tentang nama-nama, perubahan nama-nama, dan perubahan nama-nama depan. Akan tetapi dengan adanya Undang-Undang No. 4 tahun 1961 yang mengatur tentang penggantian nama, maka pasal-pasal BW tentang nama yang telah diatur dalam undang-undang ini tidak berlaku lagi. Masalah nama bagi orang-orang golongan Eropah dan mereka yang dipersamakan, merupakan hal yang cukup penting, karena nama itu merupakan indentifikasi seseorang sebagai subjek hukum. Bahwa dari nama itu sudah dapat diketahui keturunan siapa seorang yang bersangkutan. Hal mana sangat penting dalam urusan pembagian warisan serta soal-soal lain yang berhubungan dengan kekeluargaan. Nama seorang golongan Eropah pada umumnya terdiri dari dua bagian yaitu "nama kecil" (misalnya Karel, Jan Rebert, dan sebagainya) yang biasa diberikan sendiri oleh orang tuannya dan "nama keluarga" seperti (Bakker, Koch, Tounssen dan sebagainya) yang dipakai oleh bapak dan ibunya.
e). Tempat Tinggal
Selain dari pada nama, untuk lebih jelas lagi siapa yang mempunyai suatu hak/atau kewajiban serta dengan siap seorang mengadakan hubungan hukum, maka dalam hukum perdata ditentukan pula tentang tempat tinggal (domisili). Kepentingan adanya ketentuan tentang tempat tinggal (domisili) dimana ia berkediaman pokok. Tetapi bagi orang yang tidak mempunyai tempat kediaman tertentu, maka tempat tinggal dianggap dimana ia sungguh-sungguh berada. Tempat tingggal dibedakan atas 2 macam :
1. Tempat tinggal yang sesungguhnya. Di tempat tinggal sesungguhnya inilah biasanya seseorang melakukan hak-haknya dan memenuhi kewajiban-kewajiban perdata pada umumnya. Tempat tinggal yang sesungghnya dapat dibedakan pula atas 2 macam, yakni :
Tempat tinggal yang bebas atau yang berdiri sendiri, tidak terikat/tergantung pada hubungannya dengan pihak lain.
Tempat tinggal yang tidak bebas, yakni tempat tinggal yang terikat / tergantung pada hubungannya dengan pihak lain. Misalnya : tempat tinggal anak yang belum dewasa dirumah orang tuanya/walinya; tempat tinggal orang yang berada dibawah pengampuan dirumah pengampunya. Buruh mempunyai tempat tinggal dirumah majikannya jika mereka tinggal bersama majikannya.
2. Tempat tinggal yang dipilih. Dalam suatu sengketa dimuka pengadilan, kedua belah pihak yang berpekara atau salah satu dari mereka dapat memilih tempat tinggal lain dari pada tempat tinggal mereka yang sebenarnya. Pemilihan tempat tinggal ini dilakukan dengan suatu akta. Diadakannya tempat tinggal yang dipilih itu dimaksudkan untuk memudahkan pihak lain maupun untuk kepentingan pihak yang memilih tempat tinggal tersebut.
Kemudian rumha kematian yang sering terpakai dalam Undang-Undang tidak lain seperti domisili pengahabisan dari orang yang meninggal pengertian ini adalah penting untuk menentukan beberapa hal seperti : pengadilan mana yang berwenang untuk mengadili tentang warisan yang dipersengketakan ; pengadilan mana yang berwenang untuk mengadili tuntutan siberpiutang dan sebagainya. Sedangkan bagi badan hukum biasanya tidak dikatakan dengan istilah "tempat tinggal / kematian" melainkan "tempat kedudukan". Secara yuridis tempat kedudukan suatu badan hukum ialah tempat dimana pengurusnya menetap. Menurut beberapa arrest dari Hoog Raad. Ketentuan-ketentuan mengenai tempat tinggal yang memuat dalam BW Buku I pasal 17 s/d 25, juga berlaku dalam memperlakukan Undang-Undang Tata Usaha maupun Undang-Undang lainnya, sepanjang undang-undang itu tidak menentukan lain.
f). Keadaan Tidak Hadir
Bilamana seseorang untuk waktu yang pendek maupun waktu yang lama meninggalkan tempat tinggalnya, tetapi sebelum pergi ia memberikan kuasa kepada orang lain untuk mewakili dirinya dan mengurus harta kekayaannya, maka keadaan tidak ditempat orang itu tidak menimbulkan persoalan. Akan tetapi bilamana orang yang pergi meninggalkan tempat tinggal tersebut sebelumnya tidak memeberikan kuasa apapun kepada orang lain untuk mewakili dirinya maupun untuk mengurus harta kekayaannya dan segala kepentingannya, maka keadaan tidak ditempatnya orang itu menimbulkan persoalan, siapa yang mewakili dirinya dan bagaimana mengurus harta kekayaannya. Meskipun orang yang meninggalkan tempat tinggal itu tidak kehilangan statusnya sebagai persoon atau sebagai subjek hukum, namun keadaan tidak ditempat (keadaan tidak hadir - afwezigheid) orang tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum, sehingga oleh karena itu pembentuk undang-undang perlu mengaturnya.
Ketentuan mengenai keadaan tidak di tempat atau keadaan tak hadir (afwezigheid) termuat dalam BW Buku I pasal 463 s/d 495 dan dalam Stb. 1946 No. 137 jo Bilblad V dan Stb. 1949 No. 451. Undang-Undang mengatur keadaan tidak ditempat atas tiga masa atau tingkatan, yaitu masa persiapan (pasal 463 s/d 466), masa yang berhubungan dengan penyataan bahwa orang yang meninggalkan tempat itu mungkin meninggal dunia (pasal 467 s/d 483) dan masa pewarisan secara difinitif (pasal 484).
Dalam masa persiapan (tindakan sementara) tidak perlu ada keraguan apakah orang yang meninggalkan tempat tingal itu masih hidup atau sudah meninggal dunia ; akan tetapi ada alasan yang mendesak guna mengurus seluruh atau sebagian harta kekayaannya atau guna mengadakan seorang wakil baginya. Pada masa ini Pengadilan Negeri tempat tinggal orang yang keadaan tak hadir itu menunjuk Balai Harta Peninggalan (weeskamer) untuk menjadi pengurus harta kekayaan dan segal urusan orang tersebut. Sekiranya harta kekayaan dan kepentingan orang yang tidak ditempat tidak banyak, maka untuk mengurus harta kekayaan dan mewakili kepentingannya itu, Pengadilan Negeri dapat memerintahkan kepada seorang atau lebih dari keluarga sedarah atau semenda atau kepada istri atau suaminya.
Masa yang berhubungan dengan kenyataan bahwa orang yang meninggalkan tempat itu mungkin meninggal dunia, yaitu setelah lewat 5 tahun sejak keberangkatannya dari tempat tinggalnya atau 5 tahun sejak diperolehnya kabar terakhir yang membuktikan bahwa pada waktu itu ia masih hidup, setelah diadakan pemanggilan secara umum dengan memuat di surat kabar sebanyak 3 kali. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang yang tidak ditempat beralih kepada ahli warisnya, tetapi ini hanya bersifat sementara dan dengan pembatasan-pembatasan.
Sedangkan masa pewarisan secara definitif adalah masa dimana persangkaan bahwa orang yang tidak ditempat itu telah meninggal dunia semakin kuat yaitu setelah lampau 30 tahun sejak hari pernyataan kemungkinan meninggal dunia atau setelah lampau 100 tahun terhitung sejak hari lahir orang yang tidak ditempat itu. Meskipun demikian dalam setiap masa itu orang yang tidak ditempat tersebut tetap mempunyai wewenang berhak dan wewenang bertindak atas harta kekayaan yang ditinggalkannya, dimana kalau ia muncul kembali maka hak-hak dan kewajiban-kewajibannya kembali kepadanya dengan pembatasan-pembatasan tertentu (pasal 486 dan pasal 487). Kemudian dalam pasal 489 s/d 492 diatur tentang akibat-akibat keadaan ditempat yang berhubungan dengan perkawinan. Tapi dengan berlakunya Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, pasal-pasal BW mengenai afwezigheid yang behubungan dengan perkawinan ini kiranya sudah tidak relevan lagi.
Pentingnya pengaturan mengenai keadaan tidak ditempat atau keadaan tak hadir terutama adalah pada masa dahulu dimana hubungan antar daerah masih sukar. Berbeda dengan zaman modern sekarang dimana hubungan antar daerah atau antar negara sudah lancar. Untuk masa sekrang pengaturan mengenai keadaan tidak ditempat tetap ada gunanya, satu dan hal-hal bila terjadi perang atau terjadi kekacauan-kekacauan dimana orang banyak yang hilang dan perhubungan dengan beberapa daerah atau negara terputus.
5. Pertemuan Kelima (K.5)
Badan Hukum Sebagai Subjek Hukum
a. Pengertian Badan Hukum
Dalam pergaulan hukum ditengah-tengah masyarakat, ternyata manusia bukan satu-satunya subjek hukum (pendukung hak dan kewajiban), tetapi masih ada subjek hukum lain yang sering disebut "badan hukum" (rechtspersoon). Sebagai halnya subjek hukum manusia, badan hukum inipun dapat mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban, serta dapat pula mengadakan hubungan-hubungan hukum (rechtsbetrekking/ rechtsverhouding) baik antara badan hukum yang satu dengan badan hukum lain maupun antara badan hukum dengan orang manusia (natuurlijkpersoon). Karena itu badan hukum dapat mengadakan perjanjian-perjanjian jual beli, tukar menukar, sewa menyewa dan segala macam perbuatan dilapangan harta kekayaan.
Dengan demikian badan hukum ini adalah pendukung hak dan kewajiban yang tidak berjiwa sebagai lawan pendukung hak dan kewajiban yang berjiwa yakni manusia. Dan sebagai subjek hukum yang tidak berjiwa maka badan hukum tidak dapat dan tidak mungkin berkecimpung di lapangan keluarga seperti mengadakan perkawinan, melahirkan anak dan lain sebagainya. Adanya badan hukum (rechtspersoon) disamping manusia tunggal (natuurlijkpersoon) adalah suatu realita yang timbul sebagai suatu kebutuhan hukum pergaulan ditengah-tengah masyarakat. Sebab, manusia selain mempnuayi kepentingan perseorangan (individuil), juga mempunyai kepentingan bersama dan tujuan bersama yang harus diperjuangkan bersama pula.
Karena itu mereka berkumpul mempersatukan diri dengan membentuk suatu organisasi dan memilih pengurusnya untuk mewakili mereka. Mereka juga memasukan harta kekayaan masing-masing menjadi milik bersama, dan menetapkan peraturan-peraturan intern yang hanya berlaku dikalangan mereka anggota organisasi itu. Dalam pergaulan hukum, semua orang-orang yang mempunyai kepentingan bersama yang tergabung dalam kesatuan kerjasama tersebut dianggap perlu sebagai kesatuan yang baru, yang mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban anggota-anggotanya serta dapat bertindak hukum sendiri.
b. Teori-Teori Tentang Badan Hukum
Untuk mengetahui hakikat daripada badan hukum, dalam ilmu pengetahuan hukum timbul bermacam-macam teori tentang badan hukum yang satu sama lain berbeda-beda. Ada beberapa teori mengenai badan hukum ini, antara lain:
a) Teori Fictie dari Von Savigny
Menurut teori ini badan hukum itu semata-mata buatan negara saja. Badan hukum itu hanyalah fiksi, yankni sesuatu yang sesungguhnya tidak ada, tetapi orang menghidupkannya dalam bayangan sebagai subjek hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum seperti manusia. Teori ini diikuti juga oleh Houwing.
b) Teori Harta Kekayaan Bertujuan (Doel Vermogens Theorie)
Menurut teori ini hanya manusia saja yang dapat menjadi subjek hukum. namun, kata teori ini ada kekayaan (Vermogen) yang bukan kekayaan seseorang, tetapi kekayaan itu terikat tujuan tertentu. Kekayaan yang tidak ada mempunyainya dan yang tidak terikat kepada tujuan tertentu inilah yang diberi nama badan hukum. Teori ini diajarkan oleh A. Brinz, dan diikuti oleh Van Der Heyden.

c) Teori Organ dari Otto Van Gierke
Badan hukum menurut teori ini bukan abstrak (fiksi) dan bukan kekayaan (hak) yang tidak bersubjek, tetapi badan hukum adalah suatu organisme yang riel, yang menjelma sungguh-sungguh dalam pergaulan hukum, yang dapat membentuk kemauan sendiri dengan perantaraan alat-alat yang ada padanya (penguru, anggota-anggotanya) seperti manusia biasa, yang mempunyai panca indra dan sebagainya. Pengikut teori organ ini antara lain Mr. L. Polano.
d) Teori Propriete Collective
Teori ini diajarkan oleh Planiol dan Molengraaff. Menurut teori ini hak dan kewajiban badan hukum pada hakekatnya adalah hak dan kewajiban para anggota bersama-sama. Kekayaan badan hukum adalah kepunyai bersama-sama anggotanya. Orang yang berhimpun tersebut merupakan suatu kesatuan yang membentuk suatu pribadi yang dinamakan badan hukum. Oleh karena itu badan hukum adalah suatu konstruksi yuridis saja. Star Busmann dan Kranenburg adalah pengikut-pengikut ajaran ini.
e) Teori Kenyataan Yuridis (Juridische Realiteitsleer)
Dikatakan bahwa badan hukum itu merupakan suatu realiteit, kongkrit, riil, walaupun tidak bisa diraba bukan hayal, tetapi kenyataan yuridis. Teori yang dikemukakan oleh Mejers ini menekankan bahwa hendaknya dalam mempersamakan badan hukum dengan manusia terbatas sampai pada bidang hukum saja. Meskipun teori-teori tentang badan hukum tersebut berbeda-beda dalam memahami hakikat badan hukum, namun teori-teori itu sependapat bahwa badan hukum dapat ikut berkecimpung dalam pergaulan hukum di masyarakat, artinya hanya dalam lalu lintas hukum saja.
c. Pembagian Badan-Badan Hukum
Menurut pasal 1653 BW badan hukum di bagi atas 3 macam yaitu :
1. Badan hukum yang diadakan oleh pemerintah/kekuasaan umum misalnya daerah tingkat I, daerah tingkat II/ Kotamadya, Bank-bank yang didirikan oleh negara dan sebagainya.
2. Badan hukum yang dikaui oleh Pemerintah/kekuasaan umum, misalnya perkumpulan-perkumpulan, gereja dan organisasi-organisasi agama dan sebagainya.
3. Badan hukum yang didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang dan kesusilaan, seperti PT, perkumpulan asuransi dan perkapalan.
Badan hukum dapat dilihat dari segi wujudnya maka dapat dibedakan atas 2 macam :
1. Koorperasi (coorporatie) adalah gabungan (kumpulan) orang-orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai suatu subjek hukum tersendiri. Karena itu korporasi ini merupakan badan hukum yang beranggota, akan tetapi mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban para anggotanya. Misalnya PT (NV), perkumpulan asuransi, perkapalan, koperasi, Indonesische Maatschappij op aandelen (IMA) dan sebagainya.
2. Yayasan (stiching) adalah harta kekayaan yang ditersendirikan untuk tujusn tertentu. Jadi pada yayasan tidak ada anggota, yang ada hanyalah pengurusnya.
Batas antara korporasi dan yayasan tidak tegas, karenanya timbul beberapa ajaran untuk membedakan korporasi itu dengan yayasan sebagai berikut :
a. Pada korporasi para anggotanya bersama-sama mempunyai kekayaan dan bermacam-macam kepentingan yang berwujud dalam badan hukum itu; sedangkan pada yayasan kepentinan yayasan tidak terlekat pada anggotanya, karena yayasan tidak mempunyai anggota.
b. Dalam korporasi para anggota bersama-sama merupakan organ yang memegang kekuasaan yang tertinggi; sedangkan dalam yayasan yang memegang kekuasaan tertinggi adalah pengurusnya.
c. Dalam korporasi yang menentukan maksud dan tujuannya yang menentukan maksud dan tujuannya ditetapkan oleh orang-orang yang mendirikan yang selanjutnya berdiri di luar badan tersebut.
d. Pada korporasi titik berat pada kekuasaannya dan kerjanya; sedangkan pada yayasan titik berat pada suatu kekayaan yang ditujukan untuk mencapai sesuatu maksud tertentu.
Badan hukum ini dapat pula dibedakan atas dua jenis :
1. Badan hukum Publik
2. Badan Hukum privat
Di Indonesia kriterium yang dipakai untuk menentukan suatu badan hukum termasuk pada hukum publik atau termasuk badan hukum privat ada dua macam :
a. Berdasarkan terjadinya, yakni "Badan Hukum Privat" didirikan oleh perseorangan, sedangkan "badan hukum publik" didirikan oleh pemerintah/negara.
b. Berdasarkan lapangan kerjanya, yakni apakah lapangan kerja itu untuk kepentingan umum atau tidak. Kalau lapangan pekerjaannya utnuk kepentingan umum maka badan hukum tersebut merupakan badan hukum publik, jika lapangan pekerjaannya untuk kepentingan perseorangan maka badan hukum itu termasuk badan hukum privat.
Badan Hukum Publik misalnya :
- Negara RI
- Daerah Tingkat I
- Daerah Tingkat II/Kotamadya
- Bank-bank Negara (Seperti Bank Indonesia)
Badan Hukum Privat misalnya :
- Perseroan Terbatas
- Koperasi
- Perkapalan
- Yayasan
- Dan lain-lain
d. Peraturan Tentang Badan Hukum (Rechtspersoon)
BW tidak mengatur secara lengkap dan sempurna tentang badan hukum. Dalam BW ketentuan tentang badan hukum hanya termuat pada Buku III titel IX pasal 1653 s/d 1665 dengan istilah "van zedelijke lichamen" yang dipandang sebagai perjanjian, karena itu lalu diatur dalam buku II tentang Perikatan. Hal ini memnimbulkan keberatan para ahli karena badan hukum adalah persoon, maka seharusnya dimasukkan dalam Buku I tentang orang. Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang badan hukum ini antara lain termuat dalam Stb. 1870 No. 64 tentang pengakuan badan hukum ; Stb. 1870 No. 64 tentang pengakuan badan hukum ; Stb. 1927 No. 156 tentang gereja dan organisasi-organisasi agama; Stb. 1939 No. 570 jo 717 tentang badan hukum Indonesia; Stb. 1939 No. 569 jo, 717 tentang Indonesische maatschappij op aandelen (IMA); Kitab Undang-Undang Hukum Dagang tentang PT yang telah dicabut dengan berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1995 Tentang PT, Undang-undang Yayasan No. 31 Tahun 2000, Perseroan Perkapalan dan perkumpulan asuransi ; Undang-Undang pokok Perkoperasian yang mengatur tentang badan hukum koperasi; dan lain-lain.

Dalam pada itu, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh suatu badan/perkumpulan/ badan usaha agar dapat dikatakan sebagai badan hukum (rechtspersoon). Menurut doktrin syarat-syarat itu adalah sebagai berikut di bawah ini :
1) Adanya harta kekayaan yang terpisah. Harta kekayaan ini diperoleh dari para anggota maupun dari perbuatan pemisahan yang dilakukan seseorang/partikelir/pemerintah untuk suatu tujuan tertentu. Adanya harta kekayaan ini dimaksudkan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu dari pada badan hukum yang bersangkutan. Harta kekayaan ini, meskipun berasal dari pemasukan anggota-anggotanya, namun terpisah dengan harta kekayaan kepunyaan pribadi anggota-anggotanya itu. Perbuatan pribadi anggota-anggotanya tidak mengikat harta kekayaan tersebut, sebaliknya perbuatan badan hukum yang diwakili pengurusnya tidak mengikat harta kekayaan anggota-anggotanya.
2) Mempunyai tujuan tertentu
Tujuan tertentu ini dapat berupa tujuan yang idiil maupun tujuan komersiil yang merupakan tujuan tersendiri dari pada badan hukum. Jadi bukan tujuan untuk kepentingan satu atau beberapa orang anggotanya. Usaha untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan sendiri oleh badan hukum dengan diwakili organnya. Tujuan yang hendak dicapai itu lazimnya dirumuskan dengan jelas dan tegas dalam anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan.
3) Mempunyai kepentingan sendiri
Dalam mencapai tujuannya, badan hukum mempunyai kepentingan sendiri yang dilindungi oleh hukum. Kepentinga-kepentingan tersebut merupakan hak-hak subjektif sebagai akibat dari peristiwa-peristiwa hukum. Oleh karena itu badan hukum mempunyai kepentingan sendiri dan dapat menuntut serta mempertahankannya terhadap pihak ketiga dalam pergaulan hukumnya. Kepentingan sendiri dari badan hukum ini harus stabil, artinya tidak terikat pada suatu-waktu yang pendek, tetapi untuk jangka waktu yang panjang.
4) Ada organisasi yang teratur
Badan hukum adalah suatu konstruksi yuridis. Karena itu sebagai subjek hukum disamping manusia badan hukum hanya dapat melakukan perbuatan hukum dengan perantaraan organnya. Bagaimana tata cara organ badan hukum yang terdiri dari manusia itu bertindak mewakili badan hukum, bagaimana organ itu dipilih, diganti dan sebagainya diatur dalam anggaran dasar dan peraturan-peraturan lain atau keputusan rapat anggota yang tiada lain dari pada pembagian tugas. Dengan demikian badan hukum mempunyai organisasi. Pada akhirnya yang menentukan suatu badan/perkumpulan atau perhimpunan sebagai badan hukum atau tidak adalah hukum positif yakni hukum yang berlaku pada suatu daerah / negara tertentu, pada waktu tertentu dan pada masyarakat tertentu. Misalnya di Perancis dan Belgia, hukum positifnya mengakui perseroan Firma sebagai badan hukum. Sedangkan di Indonesia hukum positifnya tidak mengakuinya sebagai badan hukum.
Syarat mutlak untuk diakui sebagai badan hukum, himpunan/perkumpulan/badan hukum itu harus mendapat izin dari Pemerintah cq. Departemen Kehakiman (d/h Gubernur Jenderal - pasal 1 Stb. 1870 No. 64).
e. Perbuatan Badan Hukum
Sebagaimana dikatakan, bahwa badan hukum adalah subjek hukum yang berjiwa seperti manusia, karena itu badan hukum tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum sendiri, melainkan harus diwakili oleh orang-orang manusia biasa. Namun orang-orang ini bertindak bukan untuk dirinya sendir tetapi untuk dan atas nama badan hukum. Orang-orang yang bertindak untuk dan atas nama badan hukum ini disebut "organ" (alat perlengkapan seperti pengurus, direksi dan sebagainya) dari badan hukum yang merupakan unsur penting dari organisasi badan hukum itu.
Bagaimana organ dari badan hukum itu berbuat dan apa saja yang harus diperbuatnya serta apa saja yang tidak boleh diperbuatnya, lazimnya semua ini ditentukan dalam anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan maupun dalam peraturan-peraturan lainnya. Dengan demikian organ badan hukum tersebut tidak dapat berbuat sewenang-wenang, tetapi dibatasi sedemikian rupa oleh ketentuan-ketentuan intern yang berlaku dalam badan hukum itu, baik yang termuat dalam anggaran dasar maupun peraturan-peraturan lainnya.
Tindakkan organ badan hukum yang melampaui batas-batas yang telah ditentukan, tidak menjadi tanggung jawab badan hukum, tetapi menjadi tanggung jawab pribadi organ yang bertindak melampaui batas itu, terkecuali tindakan itu menguntungkan badan hukum, atau organ yang lebih tinggi kedudukannya kemudian menyetujui tindakan itu. Persetujuan organ yang kedudukannya lebih tinggi ini harus masih dalam batas-batas kompetensinya. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang termuat dalam pasal 1656 BW yang menyatakan : "Segala perbuatan, untuk mana para pengurusnya tidak berkuasa melakukannya, hanyalah mengikat perkumpulan sekedar perkumpulan itu sungguh-sungguh telah mendapat manfaat karenanya atau sekedar perbuatan-perbuatan itu terkemudian telah disetujui secara sah".
f. Prosedur Pembentukan Badan Hukum
Pembentukan badan hukum dapat dilakukan, baik melalui peraturan perundang-undangan maupun dengan perjanjian. Badan hukum yang dibentuk melalui peraturan perundang-undangan, status badan hukum itu ditetapkan oleh undang-undang, misalnya pembentukan Perum, Persero, Perjan dan lain-lain. Sebaliknya badan hukum yang dibentuk melalui perjanjian, status badan hukum itu diakui oleh Pemerintah melalui pengesahan anggaran dasar yang termuat dalam akta pendirian. Anggaran dasar itu adalah kesepakatan yang dibuat para pendiri, misalnya dalam pendirian PT, Koperasi dan lain-lain.

bab4.hukum perikatan


16. Kuliah Keenam Belas (K.16)
BAB IV. HUKUM PERIKATAN
A. Istilah dan Pengertian Perikatan
Dalam Buku III BW yang berjudul "van Verbintenissen", di mana istilah ini juga merupakan istilah lain yang dikenal dalam Code Civil Perancis, istilah mana diambil dari hukum Romawi yang terkenal dengan istilah "obligation". Istilah verbintenis dalam BW (KUHPerdata), ternyata diterjemahkan berbeda-beda dalam kepustakaan hukum Indonesia. Berkaitan dengan itu, Soetojo Prawirohamidjojo, di dalam salah satu bukunya menegaskan bahwa :
“Istilah verbintenis, ada yang menterjemahkan dengan "perutangan", perjanjian maupun dengan "perikatan". karena masing-masing para sarjana mempunyai sudut pandang yang berbeda dalam menterjemahkan dan mengartikannya, walaupun pengertian yang dimaksudkan perikatan tersebut dapat tidak terlalu jauh berbeda. Istilah perikatan dimaksud pada dasarnya berasal dari bahasa Belanda yakni “verbintenis”, diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia berbeda-beda, sebagai bukti, di dalam KUHPerdata digunakan istilah “perikatan” untuk “verbintenis”. R. Subekti, mempergunakan istilah “verbintenis” untuk perkataan “perikatan”, demikian juga R. Setiawan, memakai istilah “perikatan” untuk “verbintenis”. Selanjutnya Utrecht, memakai istilah perutangan untuk “verbintenis”. Sebaliknya Soediman Kartohadiprodjo, mempergunakan istilah “hukum pengikatan” sebagai terjemahan dan “verbintenissenrecht, sedangkan. Sementara itu R. Wirjono Prodjodikoro, memakai istilah “het verbintenissenrecht” diterjemahkan sebagai “hukum perjanjian” bukan hukum perikatan, demikian juga Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, memakai istilah “hukum perutangan” untuk “verb intenissenrecht” .(R. Soetojo , 1979; 10).

Dari uraian di atas, maka dapat dikatakan, bahwa untuk istilah “verbintenis” dikenal adanya tiga istilah untuk menterjemahkannya yakni; “perikatan, perutangan, dan perjanjian”, akan tetapi dalam berbagai perkuliahan di Fakultas Hukum yang ada di Indonesia, penggunaan terjemahan istilah “verbintenis” tersebut lebih cenderung menggunakan istilah perikatan untuk verbintenis tersebut, demikian juga halnya dalam tulisan ini digunakan istilah perikatan untuk menterjemahkan verbintenis dimaksud. Beranjak dari uraian di atas, jika dikaitkan dengan adanya ketidak samaan pendapat tentang terjemahan istilah verbintenis tersebut, hal ini berpengaruh terhadap perumusan perikatan, karena di dalam KUHPerdata sendiri tidak ditemui pngertian perikatan secara yuridisnya, oleh karena untuk merumuskan tentang perikatan dapat dipedomani beberapa pendapat para ahlinya.
Berkaitan dengan itu, menurut Hofmann, bahwa “perikatan adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum, sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang dari padanya (debitur atau para debitur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak lain yang berhak atas sikap demikian itu”. Selanjutnya Pitlo mengatakan, bahwa “perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi”. Sementara itu, menurut Abdulkadir Muhammad;.”Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara debitur dan kreditur, yang terletak dalam bidang harta kekayaan. Soediman Kartohadiprodjo, juga merumuskan perikatan tersebut dengan; “suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi”. Demikian juga halnya, menurut R.Setiawan, bahwa “perikatan adalah suatu hubungan hukum, yang artinya hubungan yang diatur dan diakui oleh hukum. (R.Setiawan, 1994; 2).
Dari berbagai pengertian atau rumusan perikatan sebagaimana dikemukakan para ahli di atas, dapat dikatakan, bahwa perikatan tersebut pada dasarnya merupakan hubungan hukum yang artinya hubungan yang di atur dan di akui oleh hukum, baik yang dapat dinilai dengan uang maupun tidak, yang di dalamnya terdapat paling sedikit adanya terdapat satu dan kewajiban, misalnya suatu perjanjian pada dasarnya menimbulkan atau melahirkan satu atau beberapa perikatan, keadaan ini tentu tergantung pada jenis perjanjian yang diadakan, demikian juga halnya suatu perikatan dapat saja dilahirkan karena adanya ketentuan undang-undang, dalam arti, undang-udanglah yang menegaskan, di mana dengan terjadinya suatu peristiwa atau perbuatan telah melahirkan perikatan atau hubungan hukum, misalnya, dengan adanya perbuatan melanggar hukum.
Hubungan hukum sebagaimana dimaksudkan, harus dibedakan dengan hubungan lainnya yang ada di dalam pergaulan masyarakat, seperti pergaulan yang berdasarkan etika dan kesopanan, kepatutan dan kesusilaan. Penyimpangan terhadap hubungan tersebut, tidak menimbulkan akibat hukum, misalnya; janji untuk bertemu dengan pasangan, janji untuk pergi kuliah bersama dan lain-lain yang pada dasarnya berada diluar lingkungan hukum dalam arti, hal ini bukan merupakan perikatan atau hubungan hukum. Sebagai perbandingan, dapat dilihat dari tiga contoh kasus berikut :
1). Amir menjual mobilnya kepada Budi, maka dalam hal ini, menimbulkan perikatan antara kedua orang tersebut, yakni pihak Amir mempunyai kewajiban untuk menyerahkan mobil yang dijualnya karena hal itu juga merukan haknya Budi, demikian juga sebaliknya, bahwa pihak Budi juga mempunyai kewajiban untuk menyerahkan atau membayar harga pada Amir karena hal itu merupakan haknya Amir, demikian juga dari keadaan tersebut menimbulkan kewajiban bagi Budi untuk membayar harga yang telah ditentukan;
2). Joni menitipkan sepeda motornya pada Ali, maka dengan keadaan tersebut dapat dikatakan telah terjadinya perikatan antara kedua pihak tersebut, di mana Joni berhak atas sepeda motor yang dititipkan atau menerima kembali sepeda motor yang telah dititipkannya, demikian juga sebaliknya, Ali berkewajiban menyerahak sepeda motor yang telah dititipkan oleh Joni.
3). Akhir secara tidak sengaja menabrak seseoran pejalan kaki dengan kendaraannya, maka hal demikian juga telah melahirkan perikatan antara Akhir dengan Pejalan kaki tersebut, di mana akhir berkewajiban untuk mengobati dan sebaliknya si pejalan kaki mempunyai hak untuk menuntut agar Akhir mengobatinya.
Melihat beberapa pengertian perikatan dan kasus di atas, maka dapat dikatakan bahwa pada dasarnya perikatan merupakan “suatu hubungan hukum antara dua pihak, di mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dan pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban memenuhi tuntutan tersebut. Dalam hal mi, dapat disebutkan, bahwa pihak yang menuntut disebut kreditur (pihak berpiutang) dan pihak yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi disebut debitur (pihak berutang). Keadaan tersebut juga dapat diartikan, bahwa adanya suatu hak dan kewajiban yang harus dilakukan kreditur dan debitur tergantung dan yang diperjanjikan, di mana hak dan kewajiban kreditur dimaksudkan harus diatur oleh undang-undang, yaitu sebagai suatu tindakan untuk melakukan tuntutan terhadap pihak yang lalai dalam melaksanakan suatu prestasi atau kewajibannya. Hal ini berarti, bahwa secara sederhana perikatan diartikan sebagai suatu hal yang mengikat antara orang yang satu dengan orang yang lain. Hal yang mengikat itu adalah peristiwa hukum yang dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli, hutang-piutang, dapat berupa kejadian, misalnya kelahiran, kematian, dapat berupa keadaan, misalnya perkarangan berdampingan, rumah bersusun, jadi peristiwa hukum tersebut menciptakan hubungan hukum, dalam arti peristiwa hukum tersebut menciptakan hubungan hukum.
Dalam hubungan hukum itu tiap pihak mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik. Pihak yang satu mempunyai hak untuk menuntut sesuatu dari pihak yang lain, dan pihak yang lain itu wajib memenuhi tuntutan itu, dan sebaliknya. Pihak yang berhak menuntut sesuatu disebut kreditur, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan disebut debitur. Hal ini berarti, menurut Ridwan Syahrani, “bahwa terjadinya hubungan hukum antara dua pihak tersebut, di mana masing-masing pihak (kretidur) berhak atas prestasi dan pihak yang lain (debitur) berkewajiban memenuhi prestasi itu” (Ridwan Syahrani, 1992; 203). Prestasi sebagaimana di maksudkan dapat dikatakan sebagai objeknya perikatan, yaitu sesuatu yang dituntut oleh kreditur terhadap debitur, atau sesuatun yang wajib dipenuhi oleh debitur terhadap kreditur. Prestasi adalah harta kekayaan yang diukur atau diniali dengan uang. Yang berkewajiban membayar sejumlah uang berposisi sebagai debitur, sedangkan pihak yang berhak menerima sejumlah uang berposisi sebagai kreditur.
Dalam hukum hutang-piutang, pihak yang berhutang disebut debitur, sedangkan pihak yang berhutang disebut kreditur. Dalam hubungan jual beli, pihak pembeli berposisi sebagai debitur, sedangkan penjual berposisi sebagai kreditur. Dalam perjanjian hibah, Pemberi hibah disebut debitur, sedangkan penerima hibah disebut kreditur. Dalam perjanjian kerja, pihak yang melakukan pekerjaan disebut kreditur, sedangkan pihak yang berkewajiban membayar upah disebut debitur.

Dari uraian yang telah dikemukakan, pada akhirnya perlu juga dipahami tentang rumusan hukum perikatan, maka dengan melihat beberapa pengertian dan kasus yang telah dikemukakan, dapat dikatakan bahwa hukum perikatan, pada dasarnya merupakan “kesemuanya kaidah hukum atau aturan hukum yang mengatur hak dan kewajiban seseorang yang bersumber pada tindakannya, baik dalam lingkungan hukum kekayaan yang dapat dinilai dengan uang maupun tidak dapat dinilai dengan uang.

B. Pengaturan Hukum Perikatan
Hukum Perikatan yang dimaksudkan ialah keseluruhan peraturan hukum yang mengatur tentang perikatan. Pengaturan tersebut meliputi bagian umum dan bagian khusus. Bagian umum membuat peraturan-peraturan yang berlaku bagi perikatan pada umumnya. Sedangkan bagian khusus memuat peraturan-peraturan mengenai perjanjian-perjanjian bernama yang banyak dipakai dalam masyarakat. Bagian umum meliputi bab babI, bab II bab III (hanya pasal 1352 dan 1353) da bab IV, yang berlaku bagi perikatan pada umumnya. Bagian khusus meliputi bab III (kecuali pasal 1352 dan pasal 1353) dan babV s/d XVIII, yang berlaku bagi perjanjian-perjanjian tertentu saja, yang sudah ditentukan namanya dalam baba-bab yang bersangkutan. Pengaturan hukum perikatan dilakukan dengan "sistem terbuka", artinya setiap orang boleh mengadakan perikatan apa saja baik yang belum ditentukan namanya dalam undang-undang. tetapi keterbukaan ini dibatasi oleh tiga hal, yaitu tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan , dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
Sesuai dengan pengunaan sistem terbuka, maka pasal 1233 KUH Perdata menentukan bahwa perikatan dapat timbul baik karena perjanjian maupun karena undang-undang. Dengan kata lain, sumber perikatan itu ialah perjanjian dan undang- undang. Dalam perikatan yang timbul karena perjanjian, kedua pihak debitur dan kreditur dengan sengaja bersepakat saling mengikatkan diri, dalam perikatan mana kedua pihak mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Pihak debitur wajib memenuhi prestasi dan pihak kreditur berhak atas prestasi.
Dalam perikatan yang timbul karena undang-undang, hak dan kewajiban debitur dan kreditur ditetapkan oleh undang-undang. Pihak debitur dan kreditur wajib memenuhi ketentuan undang-undang. Undang-undang mewajibkan debitur berprestasi dan kreditur berhak atas prestasi. Kewajiban ini disebut kewajiban undang-undang. Jika kewajiban tidak dipenuhi, berarti pelanggaran undang-undang.
Dalam pasal 1352 KUH Perdata, perikatan yang timbul karena undang-undang diperinci menjadi dua, yaitu perikatan yang timbul semata-mata karena ditentukan oleh undang-undang dan perikatan yang timbul karena perbuatan orang. perikatan yang timbul karena perbutan orang dalam pasal 1353 KUH Perdata diperinci lagi menjadi perikatan yang timbul dari perbuatan menurut hukum (rechtmatig) dan perikatan yang timbul dari perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad).
C. Prestasi dan Wanprestasi
- Prestasi
Prestasi adalah yang wajib dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan. Prestasi adalah objek perikatan. Dalam hukum perdata kewajiban memenuhi prestasi selalu disertai jaminan harta kekayaan debitur. Dalam pasal 1131 KUH Perdata dinyatakan bahwa semua harta kekayaan debitur baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan pemenuhan utangnya terhadap kreditur. Tetapi jaminan umum ini dapat dibatasi dengan jaminan khusus berupa benda tertentu yang ditetapkan dalam perjanjian antara pihak-pihak.
Menurut ketentuan pasal 1234 KUH Perdata ada tiga kemungkinan ujud prestasi, yaitu (a) memberikan sesuatu, (b) berbuat sesuatu, (c) tidak berbuat sesuatu. Dalam pasal 1235 ayat 1 KUH Perdata pengertian memberikan sesuatu adalah menyerahkan kekuasaan nyata atas suatu benda dari debitur kepada kreditur, misalnya dalam jual beli , sewa-menyewa, hibah, perjanjian gadai, hutang-piutang.
Dalam perikatan yang objeknya "berbuat sesuatu", debitur wajib melakukan perbuatan tertentu yang telah ditentukan dalam perikatan, misalnya melakukan perbuatan membongkar tembok, mengosongkan rumah, membangun gedung. Dalam melakukan perbuatan itu debitur harus mematuhi semua ketentuan dalam perikatan. Debitur bertanggung jawab atas perbuatnnya yang tidak sesuai dengan ketentuan perikatan.
Dalam perikatan yang objekbnya "tidak berbuat sesuatu", debitur tidak melakukan perbuatan yang telah ditetapkan dalam perikatan, misalnya tisdak melakukan persaingan yang telah diperjanjikan, tidak membuat tembok yang tingginya yang menghalangi pemandangan tetangganya. Apabila debitur berlawanan dengan periktan ini, ia bertanggung jawab karena melanggar perjanjian.
- Sifat prestasi
Prestasi adalah objek perikatan. Supaya objek itu dapat dicapai, dalam arti dipenuhi oleh debitur, maka perlu diketahui sifat-sifatnya, yaitu:
1. Harus sudah ditentukan atau dapat ditentukan. Hal ini memungkinkan debitur memenuhi perikatan. Jika prestasi itu tidak tertentu atau tidak dapat ditentukan mengakibatkan perikatan batal (niegtig);
2. Harus mingkin, artinya artinya prestasi itu dapat dipenuhi oleh debitur secara wajar dengan segala usahanya, jika tidak demikian perikatan batal (nietig);
3. Harus diperbolehkan (halal), artinya tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, Jika prestasi itu tidak halal, perikatan batal (niegtig).
4. Harus ada manpfaat bagi kreditur, artinya kreditur dapat menggunakan, menikmati, dan mengambil hasilnya. Jika tidak demikian, perikatan dapat dibatalkan (verniegtigbaar).
5. Terdiri dari satu perbuatan atau serentetan perbuatan. Jika prestasi itu berupa satu kali perbuatan dilakukan lebih dari satu kali dapat mengakibatkan pembatalan perikatan (vernietigbaar).



17. Kuliah Ketujuh Belas (K.17)
- Wanprestasi
Wanprestasi artinya tidak memenuhi sesuatu yang diwajibkan seperti yang telah ditetapkan dalam perikatan. Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitur disebabkan oleh dua kemungkinan alasan, yaitu:
1. Karena kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhinya kewajiban maupun karena kelalaian.
2. Karena keadaan memaksa (overmacht), force mejeure, jadi di luar kemampuan debitur. Debitur tidak bersalah.
Untuk menentukan apakah seorang debitur bersalah melakukan wanprestasi, perlu ditentukan dalam keadaan bagaimana debitur dikatakan sangaja atau lalai tidak memenuhi prestasi. Ada tiga keadaan, yaitu:
1. debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali,
2. debitur memenuhi prestasi, tetapi tetapi tidak baik atau keliru,
3. debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya atau terlambat.
Untuk mengetahui sejak kapan debitur dalam keadaan wanprestasi, perlu diperhatikan apakah dalam perkataan itu ditentukan tanggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi atau tidak. Dalam hal tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi "tidak ditentukan", perlu memperingatkan debitur sepaya ia memenuhi prestasi. Tetapi dalam hal telah ditentukan tanggang waktunya, menurut ketentuan pasal 1238 KUH Perdata debitur dianggap lalai dengan lewatnya tenggang waktu yang telah ditetapkan dalam perikatan.
Bagaimana cara memperingatkan debitur agar ia memenuhi prestasinya? Debitur perlu diberi peringatan tertulis, yang isinya menyatakan bahwa debitur wajib memenuhi prestasi dalam waktu yang ditentukan. Jika dalam waktu itu debitur tidak memenuhinya, debitur dinyatakan telah lalai atau wanprestasi. Peringatan tertulis dapat dilakukan secara resmi dan dapat juga secara tidak resmi. Peringatan tertulis secara resmi dilakukan melalui Pengdilan Negeri yang berwenang, yang disebut "somatie". Kemudian Pengadilan Negeri melalui perantaraan Jurusita menyampaikan surat peringatan tersebut kepada debitur, yang disertai berita acara penyampaiannya. Peringatan tertulis tidak resmi misalnya melalui suart tercatat, telegram, atau disampaikan sendiri oleh kreditur kepada debiotur dengan tanda terima. Surat peringatan disebut "ingebreke stelling".
Akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah hukuman atau saksi hukum berikut ini:
1. Debitur diwajibkan membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh kreditur (pasal 1243 KUH Perdata);
2. Apabila perikatan itu timbal balik, kreditur dapat menuntut pemutusan/pembatalan perikatan melalui Hakim (pasal 1266 KUH Perdata);
3. Dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, resiko berlaih kepada debitur sejak terjadi wanprestasi (pasal 1237 ayat 2);
4. Debitur diwajibkan memenuhi perikatan jika masih dapat dilakukan, atau pembatalan disertai pembayaran ganti kerugian (pasal 1267 KUH Perdata);
5. Debitur wajib membayar biaya perkara jika diperkarakan di muka Pengadilan Negeri, dan debitur dinyatakan bersalah;

Keadaan Mamaksa (overmacht).
Keadaan memaksa ialah keadaan tidak dipenuhinya prestasi oleh debitur karena peristiwa yang yang tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi ketika membuat perikatan. Dalam keadaan memaksa, debitur tidak dapat dipersalahkan, karena keadaan ini timbul diluar kemauan dan kemampuan debitur. Unsur-unsur keadaan memaksa adalah sebagai berikut:
1. Tidak dipenuhinya prestasi karena terjadi peristiwa yang membinasakan/ memutuskan benda objek perikatan; atau
2. Tidak dipenuhinya prestasi karena terjadi peristiwa yang menghalangi perbuatan debitur untuk berprstasi;
3. Peristiwa itu tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan.
Dalam hal ini keadaan memaksa yang memenuhi unsur satu dan tiga, maka keadaan memaksa ini disebut "keadaan memaksa objektif". Vollmar menyebutnya dengan absolute overmacht. Dasarnya ialah ketidakmungkinan (impossibility) memenuhi prestasi, karena bendanya lenyap/musnah. Misalnya jual beli lukisan karapan sapi karya Afandi, ketika akan diserahkan kepada pembeli di sebuah hotel, lukisan tersebut terbakar habis bersama-sama mobil yang membawanya karena kecelakaan lalu lintas. Peristiwwa ini mengakhiri perikatan karena tidak mungkin dapat dipenuhi oleh debitur.
Dalam hal terjadinya keadaan memaksa yang memenuhi unsur dua dan tiga, keadaan memaksa ini disebut "keadaan memaksa yang subjektif". Vollmar menyebutnya dengan relative overmacht. Dasarnya ialah kesulitan memenuhi prestasi, karena ada peristiwa yang menghalagi debitur untuk berbuat. Misalnya seorang mahasiswa membeli sebuah mesin tik dari seorang pedagang, yang disanggupi untuk dikirimkan dalam waktu satu minggu. Kemungkinan kapal yang mengangkut benda itu membentur karang, sehingga harus masuk dok untuk perbaikan. Di sini debitur mengalami kesulitan memenuhi prestasi.
Dalam peristiwa ini debitur bukannya tidak mungkin memenuhi prestasi, tetapi sulit memenuhi prestasi, bahkan kalau dipenuhi juga memerlukan waktu dan biaya yang banyak. Keadaan memaksa dalam hal ini bersifat sementara. Perikatan tidak berhenti (tidak batal) hanya pemenuhan prestasinya tertunda. Jika kesulitan sudah tidak ada lagi pemenuhan prestasi diteruskan. Tetapi jika prestasi itu sudah tidak berarti lagi bagi kreditur karena sudah tidak diperlukan lagi, maka perikatan "gugur" (verbal).
Perbedaan antara perikatan batal dengan perikatan gugur terletak pada ada tidaknya objek perikatan dan objek tersebut harus mungkin dipenuhi. Pada perikatan batal, objek perikatan tidak ada karena musnah, sehingga tidak mungkin dipenuhi oleh debitur (sifat prestasi). Sedangkan pada perikatan gugur, objek perikatan ada, sehingga mungkin dipenuhidengan segala macam usaha debitur, tetapi tidak mempunyai arti lagi bagi kreditur. Jika prestasi betul-betul dipenuhi oleh debitur, tetapi kreditur tidak menerima karena tidak ada arti (manfaat) lagi, perikatan "dapat dibatalkan" (vernietigbaar). Persamaannya ialah pada perikatan batal, gugur, keduanya itu tidak memcapai tujuan.
Dalam KUH Perdata keadaan mamaksa tidak diatur secara umum, melainkan secara khusus pada perjanjian-perjanjian tertentu saja, misalnya pasal 1237 KUH Perdata perjanjian sepihak, pasal 1460 KUH Perdata perjanjian jual beli, pasal 1545 KUH Perdata perjanjian tukar menukar, pasal 1553 KUH Perdata perjanjian sewa-meyewa, Karena itu, pihak-pihak bebas memperjanjikan tanggung jawab itu dalam perjanjian yang mereka buat, apabila terjadi keadaan memaksa.
Dalam keadaan memaksa pada perjanjian hibah, resiko ditanggung oleh kreditur (pasal 1237 KUH Perdata). Pada perjanjian jula beli, resiko ditanggung oleh kedua belah pihak (SEMA. No. 3 tahun 1963 mengenai pasal 1460 KUH Perdata). Pada perjanjian tukar menukar, resiko ditanggung oleh pemiliknya (pasal 1545 KUH Perdata). Pada perjanjian sewa-meyewa, resiko ditanggung oleh pemilik benda (pasal 1553 KUH Perdata).

D. Ganti Kerugian
Menurut ketentuan pasal 1243 KUH Perdata, ganti kerugian karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabila debitur setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetapi melalaikan, atau sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.
Maksud "kerugian" dalam pasal di atas ialah kerugian yang timbul karena debitur melakukan wanprestasi (lalai atau sengaja untuk memenuhi prestasi). Kerugian tersebut wajib diganti oleh debitur terhitung sejak ia dinyakan lalai. Ganti rugi itu terdiri dari tiga unsur, yaitu:
1. Ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan, misalnya ongkos cetak, biaya materai, biaya iklan;
2. Kerugian sesungguhnya karena kerusakan, kehilangan benda milik kreditur akibat kelalaian debitur, misalnya busuknya buah-buahan karena kelambatan penyerahan, ambruknya rumah karena kesalahan konstruksi, sehingga merusak perabot rumah tangga;
3. Bunga atau keuntungan yang diharapkan, misalnya bunga yang berjalan selama piutang terlambat diserahkan (dilunasi), keuntungan yang tidak diperoleh karena kelambatan penyerahan bendanya.
Ganti kerugian harus berupa uang, bukan barang, kecuali jika diperjanjian lain. Dalam ganti keruagian itu tidak selalu ketiga unsur itu harus ada. Yang ada itu mungkin hanya kerugian yang sesungguhnya, atau mungkin hanya ongkos-ongkos atau biaya, atau mungkin keugian sesungguhnya ditambah dengan ongkos atau biaya.
Untuk melindungi debitur dari tuntutan sewenang-wenang pihak kreditur, undang-undang memberikan pembatasan terhadap ganti kerugian yang harus dibayar oleh debitur sebagi akibat dari kelalaiannya (wanprestasi). Kerugian yang harus dibayar oleh debitur hanya meliputi :
1. Kerugian yang dapat diduga ketika membuat periktan. Dapat diduga itu tidak hanya mengenai kemungkinan timbulnya kerugian, melainkan juga meliputi besarnya jumlah kerugian. Jika jumlah kerugian melampaui batas yang dapat diduga, kelebihan yang melampaui batas batas yang diduga itu tidak boleh dibebankan jkepada debitur, kecuali jika debitur ternyata melakukan tipu daya (pasal 1247 KUH Perdata).
2. Kerugian sebgai akibat langsung dari wanprestasi (kelalaian) debitur, seperti yang ditentukan dalam pasal 1248 KUH Perdata. Untuk menentukan syarat "akibat langsung" dapat dipakai teori adequate. Menurut teori ini, akibat langsung ialah akibat yang menurut pengalaman manusia normal dapat diharapkan atau dapat diduga akan terjadi. Dengan timbulnya wanprestasi, debitur selalu manusia normal dapat menduga akan merugikan kreditur. Teori adequte ini diikuti dalam praktek peradilan.
3. Bunga dalam hal terlambat membayar sejumlah hutang (pasal 1250 KUH Perdata). Besarnya bunga didasarkan pada ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah. Menurut yurisprodensi, pasal 1250 KUH Perdata tidak dapat diberikan terhadap periktan yang timbul karena perbuatan melawan hukum (Sri Soedewi, 1974: 36).

18. Kuliah Kedelapan Belas (K.18)
E. Jenis-Jenis Perikatan
1). Perikatan bersyarat
Perikatan bersyarat (voorwaardelijk verbintenis) adalah perikatan yang digantungkan pada syarat. Syarat itu adalah suatu peristiwa yang masih akan terjadi dan belum pasti terjadinya, baik dengan menangguhkan pelaksanaan perikatan hingga terjadinya peristiwa, maupun dengan membatalkan perikatan karena terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut (pasal 1253 KUH Perdata). Dari ketentuan pasal ini dapat dibedakan dua perikatan bersyarat yaitu periktan dengan syarat batal dan periktan dengan syarat tangguh:
a. Perikatan dengan syarat tangguh;
Apabila syarat "peristiwa" yang diamksudkan dengan itu terjadi, maka perikatan dilaksanakan (pasal 1263 KUHPdt). Jadi, sejak peristiwa itu terjadi, kewajiban dibitur untuk berprestasi segera dilaksanakan. Misalnya A setuju apabila B adiknya paviliun rumahnya, setelah B kawin. Kawin adalah peristiwa yang masih akan terjadi dan belum pasti terjadi. Sifatnya menangguhkan pelaksanaan perikatan. Jika B kawin, maka A berkewajiban menyerahkan paviliun rumahnya untuk didiami oleh B.
b. Perikatan dengan syarat batal;
Disamping perikatan yang sudah ada akan berakhir apabila "peristiwa" yang dimaksudkan itu terjadi (pasal 1265 KUH Perdata). Misalnya A setuju apabila B mendiami rumah milik A selama ia belajar di luar negeri, dengan syarat bahwa B harus mengosongkan rumah tersebut apabila A selasai studi dan kembali ke tanah air. Di sini syarat "selesai dan kembali ke tanah air" masih akan terjadi dan belum belum pasti terjadi. Tetapi jika syarat tersebut terjadi perjanjian berakhir dalam arti batal. Hal ini membawa konsekwensi bahwa segala sesuatu dipulihkan dalam keadaan semula seolah-olah tidak ada perikatan. Dalam contoh di atas B berkewajiban menyerahkan kembali rumah tersebut kepada A.
Batalnya perikatan itu bukanlah "batal demi hukum", melainkan "dinyatakan batal" oleh hakim. Jadi, jika syarat batal itu dipenuhi , maka pernyataan batal harus dimintakan kepada hakim., tidak cukup dengan permintaan salah satu pihak saja, atau pernyataan kedua belah pihak, meskipun syarat batal itu dicantumkkan dalam perikatan (pasal 1266 KUHPerdata)

2). Perikatan dengan Ketetapan Waktu
Suatu ketetapan waktu tidak menangguhkan perikatan, melainkan hanya menangguhkan pelaksanaannya. Maksud syarat "Ketetapan waktu" ialah pelaksanaan perikatan itu digantungkan pada" waktu yang ditetapkan". Waktu yang ditetapkanadalah peristiwa yang masih akan terjadi dan terjadinya itu sudah pasti, atau dapat berupa tanggal yang sudah ditetapkan. Misalnya A berjanji kepada anak perempuannya yang telah kawin itu untuk memberikan rumahnya, apabila bayi yang sedang dikandungnya lahir. Disini "kelahiran" adalah peristiwa yang masih akan terjadi dan terjadinya itu sudah pasti. Tentu saja berdasarkan pemeriksaan dokter, anak itu lahir hidup. Contoh lain, A berjanji kepada B, bahwa ia akan membayar hutangnya dengan hasil panen sawahnya yang sedang menguning. Dalam hal ini "hasil panen yang sedang menguning" sudah pasti, karna dalam waktu dekat A. Akan panen sawah, sehingga pembayaran hutang sudah pasti.
Dalam perikatan dengan ketetapan waktu, apayang harus dibayar pada waktu yang ditentukan tidak dapat ditagih sebelum waktu itu tiba . Tetapi apa yang sudah dibayar sebelum waktu itu tibe dapat diminta kembali (pasal 1269 KUH Perdata).
Dalam perikatan perikatan dengan ketetapan waktu ketetapan waktu selalu dianggap dibuat untuk kepentingan debitur, kecuali jika dari sifat perikatannya sendiri, atau dari keadaan ternyata bahwa ketetapan waktu itu telah dibuat untuk kepentinagn kreditur (pasal 1270 KUH Perdata). Biasanya kepentingan kreditur itu ditetapkan dalam perjanjian atau dalam akta.

3). Perikatan manasuka (boleh pilih)
Dalam Perikatan Manasuka, objek prestasi ada dua macam benda. Dikatakan perikatan manasuka, karena debitur telah memenuhi prestasi dengan memilih salah satu dari dua benda yang dijadikan objek perikatan. Tetapi debitur tidak dapat memaksa kreditur untuk menerima benda yang satu dan sebagian benda yang lainnya. Jika debitur telah memenuhi salah satu dari dua benda yang didsebutkan dalam perikatan, yang dibebaskan dan perikatan berakhir. Hak memilih prestasi itu ada pada debitur, jika hak ini tidak secara tegas diberikan kepada kreditur (pasal 1272 dan 1273 KUH Perdata).
Misalnya, A memesan barang elektronik berupa stereo tape rekorder pada sebuah toko barang elektronik dengan harga yang sama yaitu Rp 75.000. Dalam hal ini pedangang tersebut dapat memilih, menyerahkan strereo tape rekorder. Tetapi jika diperjanjikan bahwa A yang menentukan pilihan, maka pedagang memberitahukan kepda A bahwa barang pesanan sudah tiba, silakan A memilih salah satu diantara dua benda objek perikatan itu. JIka A telah memilih dan dan memerima dari salah satu benda itu, perikatan berakhir.
Jika salah satu benda yang menjadi objek perikatan itu hilang atau tidak dapat diserahkan atau musnah, maka perikatan itu menjadi murni dan bersyahaja. Jika kedua benda itu hilang dan debitur bersalah tentang hilangnya salah satu benda itu, debitur harus membayar harga benda yang hilang paling akhir (pasal 1274 dan 1275 KUH Perdata).
Jika hak memilih ada pada kreditur dan hanya salah satu benda saja yang hilang, maka jika itu terjadi bukan karena kesalahan debitur, kreditur harus memperoleh benda yang masih ada. Jika salah satu benda tadi terjadi karena kesalhan debitur, maka kreditur boleh menuntut pembayaran harga salah satu menurut pilihannya, apabila musnahnya salah satu benda atau kedua benda itu karena kesalahan debitur (pasal 1276 KUH Perdata). Prinsip dasar di atas ini berlaku, baik jika ada lebih dari dua benda terdapat dalam perikatan maupun jika perikatan bertujuan melakukan suatu perbuatan (pasal 1277 KUH perdata). Melakukan perbuatan, misalnya dalam perikatan mengerjakan bangunan dan melakukan pengangkutan barang. Disini debitur boleh memilih mengerjakan bangunan atau melakukan pengangkutan barang ke lokasi bangunan.
Selain dari perikatan manasuka (alternatif), ada lagi yang disebut perikatan fakultatif, yaitu perikatan dengan mana debitur wajib memenuhi suatu prestasi tertentu atau prestasi lain yang tertentu pula. Dalam perikatan ini hanya ada satu objek saja. Apabila debitur tidak memenuhi prstasi itu, ia dapat menganti dengan prestasi lain. Misalnya A berjanji kepada B untuk meminjamkan kendaraannya guna melaksankan penelitian. Jika A tidak mungkin meminjamkan kendaraannya karena rusak, ia dapat menganti dengan sejumlah uang biaya transportasi penelitian itu. Perbedaan antara perikatan alternatif dengan perikatan fakultatif adalah sebagai berikut :
a. Pada perikatan alternatif ada dua benda yang sejajar dan debitur harus menyerahkan salah satu dari dua benda itu. Sedangkan pada perikatan fakultatif hanya satu benda saja yang menjadi prestasi.
b. Pada perikatan alternatif jika benda yanmg satu hilang, benda yang lain menjadi penggantinya. Sedangkan pada perikatan fakultatif jika bendanya binasa. perutangan menjadi lenyap.
Adalagi yang disebut perikatan generik, yang objeknya dutentukan oleh jenisnya, misalnya beras Cianjur, Kuda Nil. Perbedaannya dengan perikatan alternatif ialah jika periktan generik objeknya ditentukan oleh jenisnya yang homogin. Sedangkan pada perikatan alternatif objeknya ditentukan oleh jenisnya yany tidak homogen. Keberatan perikatan generik ialah debitur tidak perlu memberikan benda prestasi itu yang terbaik, tetapi tidak juga yang terburuk (pasal 969 KUH Perdata). Benda yang menjadi objek perikatan generik itu cukuplah jika sekurang-kurangnya dapat ditentukan (perhatikan pasal 1333 KUH Perdata.

4). Perikatan Tanggung Menanggung
Dalam perikatan tangung menanggung dapat terjadi seseorang debitur berhadapan dengan beberapa orang kreditur, atau seorang kreditur berdapan dengan beberapa orang debitur. Apabila kreditur terdiri dari beberapa orang, ini disebut tanggung-menanggung aktif. Dalam hal ini setiap kreditur barhak atas pemenuhan prestasi selurauh hutang, dan jika prestasi tersebut sudah dipenuhi, debitur dibebaskan dari hutangnya dan perikatan hapus (pasal 1278 KUH Perdata).
Dalam hubungan eksteren antara debitur masing-masing dengan kreditur, apabila dalam suatu perikatan harus diserahkan suatu benda, yang kemudian musnah karena kesalahan seseorang dari pihak debitur, maka pihak debitur lainnya tidak dibebaskan dari tanggung jawabterhadap kreditur untuk membayar benda yang musnah tersebut. Kreditur yang menderita kerugian karena salahnya debitur hanya berhak menuntut ganti kerugian terhadap debitur yang bersalah itu (pasal 1285 KUH Perdata). Demikian pula dengan tuntutan pembayaran bunga yang dilakukan terhadap salah satu debitur tanggung-menanggung, berlaku juga terhadap debitur-debitur lainnya (pasal 1286).
Jika diantara debitur tangung-menanggung itu ada hubungan hukum yang lain dengan kreditur atau mempunyai kedudukan yang istimewa terhadap kreditur, maka hubungan hukum tersebut harus dipisahkan dari hubungan hukum tanggung-menaggung itu. Debitur yang bersangkutan dapat menggunakan hak tangkisannya, sedangkan debitur yang lainnya tidak (pasal 1287 KUH Perdata). Jika seorang debitur menjadi ahli waris dari kreditur, perikatan antara keduanya itu menjadi lenyap (pasal 1288 KUH Perdata).
Adakalanya juga seorang kreditur menerima sari salah seorang debitur bagian yang menjadi kewajibannya. Jika hal ini terjadi, kewajiban tanggung-menanggung terhadap debitur lainnya tetap ada, kecuali kreditur secara tegas menyatakan bahwa yang diterimanya itu untuk bagian keweajiban debitur itu (perhatikan pasal 1289.1290 dan 1291 KUH perdata). Dalam Peraktek terkadang jenis perikatan ini juga terjadi, di mana perikatan tanggung-menanggung pasif, pihak kreditur lebih merasa terjamin atas pemenuhan perikatannya. Perikatan tanggung-menanggung pasif dapat terjadi karena :
a. Wasiat, apabila pewaris memberikan tugas untuk melaksanakan suatu legaat (hibah wasiat) kepada ahli warisnya secara tanggung-menanggung;
b. Ketentuan undang-undang, dalam hal ini undang-undang menetapkan secara tegas perikatan tanggung-menaggung dalam perjanjian khusus.
Perikatan tanggung-menanggung yang secara tegas diatur dalam perjanjian khusus itu adalah sebagai berikut :
a. Persekutuan dengan Firma (pasal 18 KUHD), di mana setiap sekutu bertanggung jawab secara tanggung-menanggung untuk seluruhnya atas semua perikatan Firma;
b. Peminjaman barang (pasal 1749 KUH Perdata), jika beberapa orang bersama-sama menerima suatu barang dalam peminjaman, mereka itu masing-masing untuk seluruhnya bertanggung jawab terhadap orang yang memberikan pinjaman;
c. Pemberian kuasa (pasal 1181 KUH Perdata), seorang penerima kuasa diangkat oleh beberapa orang untuk mewakili dalam suatu urusan yang menjadi urusan mereka bersama, mereka bertanggung jawab untuk seluruhnya terhadap penerima kuasa mengenai segala akibat pemberian kuasa itu;
d. Jaminan orang (borgtocht, pasal 1836 KUH Perdata), jika beberapa orang telah mengikatkan dirinya sebagai penjamin seorang debitur yang sama untuk hutang yang sama, mereka itu masing-masing terikat untuk seluruh hutang.

19. Kuliah Kesembilan Belas (K.19)
5). Perikatan Dapat dan Tidak Dapat Dibagi
Suatu perikatan dikatakan dapat atau tidak dapat dapat dibagi, apabila benda yang menjadi objek perikatan dapat atau tidak dapat dibagi menurut imbangan, lagi pula pembagian itu tidak boleh mengurangi hakikat dari prestasi tersebut. Jadi sifat dapat atau tidak dapat dibagi itu didasarkan pada :
a. Sifat benda yang menjadi objek perikatan.
b. Maksud perikatannya, apakah itu dapat atau tidak dapat dibagi.
Persolan dapat atau tidak dapat dibagi itu mempunyai arti, apabila dalam perikatan itu terdapat lebih seorang debitur atau lebih dari seorang kreditur. Jika hanya seorang debitur saja, dalam perikatan itu maka perikatan itu dianggap sebagai tidak dapat dibagi, meskipun prestasinya dapat dibagi. Menurut ketentuan pasal 1360 KUH Perdata, tak seorang debitur pun dapat memaksa kreditur menerima pem bayaran hutangnya sebagian-demi sebagaian, meskipunhutang itu dapat dibagi-bagi.
Perikatan dapat atau tidak dapat dibagi dapat terjadi apabila salah satu pihak meninggal dunia, sehingga timbul persoalan apakah pemenuhan prestasi dapat dibagi atau tidak antara para ahli waris almarhum itu. Hal ini tergantung dari benda yang menjadi objek perikatan yang penyerahan atau perbuatan pelaksanaannya dapat dibagi atau tidak, baik secara nyata maupun secara perhitungan (pasal 1296 KUH Perdata). Akibat hukum perikatan dapat atau tidak dapat dibagi ialah, bahwa dalam perikatan yang tidak dapat dibagi, setiap kreditur berhak menuntut seluruh prestasi pada setiap debitur, dan setiap debitur wajib memenuhi prestasi tersebut seluruhnya. Dengan dipenuhi prestasi oleh seorang debitur, membebaskan debitur lainnya dan perikatan menjadi hapus. Dalam perikatan yang dapat dibagi setiap kreditur hanya berhak menuntut suatu baguian prestasi menurut perimbangannya, sedangkan setiap debitur wajib memenuhi prestasi untuk bagiannya saja menurut perimbangan.

6). Perikatan dengan Ancaman Hukuman
Perikatan ini membuat suatu ancaman hukuman terhadap debitur apabila ia lalai memenuhi prestasinnya. Ancaman hukuman ini bermaksud untuk memberikan suatu kepastian atau pelaksanaan isi perikatan seperti yang telah ditetapkan dalam perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak. Disamping itu juga sebagai usaha untuk menetapkan jumlah ganti kerugian jika betul-betul terjadi wanprestasi. Hukuman itu merupakan suatu dorongan bagi debitur untuk memenuhi kewajiban berprestasi dan untuk membebaskan kreditur dari pembuktian tentang besarenya ganti kerugian yang telah dideritanya.
Menurut ketentuan pasal 1304 KUH Perdata, ancaman hukuman itu ialah, melakukan sesuatu apabila periktan tidak dipenuhi, sedangkan penetapan hukuman itu ialah sebagai ganti kerugian karena tidak dipenuhinya prestasi (pasal 1307 KUH Perdata). Ganti kerugian selalu berupa uang. denbgan demikian dapat disimpulkan bahwa ancaman hukuman itu berupa ancamam pembayaram denda. Pembayaran denda sebagai ganti kerugian tidak dapat dituntut oleh kreditur apabila tidak berprestasi debitur itu, karena adanya kedaan memaksa (overmacht).
Misalnya dalam perjanjian dengan ancaman hukuman, apabila seorang pemborong bangunan dalam waktu 30 hari, tidak menyelesaikan pekerjaan nya ia dikenekan denda Rp50.000,- setiap hati keterlambatan. Dalam hal ini jika pemborong tadi melalaikan kewajibannya berarti ia harus membayar denda sebesar Rp 50.000,- sebagai ganti kerugian setiaop hari keterlambatan.
Dalam menentapkan denda sebagai ganti kerugian itu mungkin jumlahnya terlalu tinggi. Menrut ketentuan pasal 1309 KIH Perdata. hUkuman dapat diubah dengan hakim, jika perikatan pokok telah dipenuhi sebagian. Tetapi jika debitur belum sama sekali melaukan kewajibanya sedangakan hukuman yang ditetpkan terlalui tinggi, Hakimpun dapat menggunakan pasal 1338 KUHPpd bahwa perjanjian yang dibuat dengan syah harus dilaksanakan dengan iktikad baik (Pervormence in good faith).
Ancaman hukuman dalam perikatan ini bersifat asesor (pelengkap), artinya adanya hukuman tergantung adanyan perikatan pokok. Batalnya perikatan pokok mengakibatkan batalnya ancaman hukuman. Tetapi batalnya ancaman hukuman tidak membewa batalnya perikatan pokok (pasal 1305 KUHpt).




20. Kuliah Kedua Puluh (K.20)
F. Hapusnya perikatan
Menurut ketentuan pasal 1381 KUH Perdata, ada sepuluh caranya hapusnya perikatan yaitu :
1. Pembayaran
Pembayaran disini tidak saja meliputi penyerahan sejumlah uang melainkan juga penyerahan suatu benda. Dengan kata lain perikatan berakhir karen pembayaran dan peneyerahan benda. Jadi dalam hal objek perikatan adalah sejumlah uang maka perikatan berakhir dengan pembayaran uang. Dalam hal perikatan adalah suatu benda, maka perikatan berakhir setelah penyerahan benda. Dalam hal objek perikatan adalah pebayaran uang dan penyerahan benda secra timbl balik, perikatan baru berakhir setelah pembayaran dan penyerahan benda.
2. Penawaran pembayaran tunai diikuti penitipan
Apabila debitur telah melakukan penawaran pembayaran dengan perantara Notaris dan atau jurusita, kemudian kreditur menolak penawaran tersebut, atas penolakan kreditur itu kemudian debitur meniptipkan pembayaran itu kepada Panitra pengadilan Negeri setempat untu disimpan. Dengan demikian perikatan menjadi hapus (pasal1404 KUHpd). Supaya penawaran pembayaran itu sah, perlu dipenuhi syarat-syarat :
a. Dilakukan kepada kreditur atau kuasanya;
b. Dilakukan oleh debitur yang wenang membayar;
c. mengenai semua uang pokok, bunga, biaya yang telah ditetapkan;
d. waktu yang ditetapkan telah tiba;
e. syarat dengan mana utang dibuat, telah dipenuhi;
f. penawaran pembayaran dilakukan di tempat yang telah disetujui;
g. penawaran pembayaran dilakukan oleh Notaris atau Jurusita disertai oleh dua orang sakasi.


3. Pembaharuan hutang (novasi)
Pembaharuan hutang terjadi dengan jalan mengganti hutang lama dengan hutang baru, debitur lama dengan debitur baru , dan kreditur lama dengan kreditur baru. Dalam hal hutang lama diganti dengan hutang baru terjadi penggantian objek perjanjian (novasi objek), di sini hutang lama lenyap. Dalam hal terjadi penggantian orangnya (subjeknya), maka jika diganti debiturnya, pembaharuan ini disebut "novasi subjek pasif". Jika yang diganti itu krediturnya, pembahruan itu disebut "novasi subjek aktif". Dalam hal ini hutang lama lenyap.
4. Perjumpaan hutang (kompensasi)
Dikatakan ada perjumpaan hutang apabila hutang piutang debitur dan krteditur secara timbal balik dilakukan perhitungan. Dengan perhitunganini hutang piutang lama lenyap. Misalanya A mempunyai hutang Rp 25.000.000,- pada B. Sebaliknya B punya hutang pada A sejumlah Rp 50.000.000,-. Setelah diperhitungkan, ternyata B masih mempunyai hutang pada A Rp 25.000.000,-. Supaya hutang itu dapat diperjumpakan, perlu dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. berupa sejumlah uang atau benda yang dapat dihabiskan;
b. hutang itu harus sudah dapat ditagih;
c. hutang itu seketiga dapat ditentukan atau ditetapkan jumlahnya (pasal 1427 KUHPdt).
Setiap hutang apa pun sebabnya dapat diperjumpakan, kecuali dalam hal berikut ini;
a. apabila dituntut pengembalian suatu benda yang secara melawan hukum dirampas dari pemiliknya, misalanya dengan pencurian;
b. apabila dituntut pengambalian barang sesuatu yang dititipkan atau dipinjamkan;
c. terhadap suatu hutang yang bersumberkan pada tunjangan nafkah yang telah dinyatakan tidak dapat disita (pasal 1429 KUH perdata). Selain itu yurisprudensi juga menetapkan bahwa perjumpaan hutang berikut ini tidak mungkin, yaitu ;
d. hutang-hutang negara berupa pajak;
e. hutang-hutang yang timbul dari periktan wajar.
5. Percampuran Hutang
Menurut ketentuan pasal 1436 KUH Perdata, percampuran hutang itu terjadi apabila kedudukan kreditur dan debitur itu menjadi satu, artinya berada dalam satu tangan. percampuran hutang tersebut terjadi dami hukum. Dalam percampuran hutang ini hutang piutang menjadi lenyap." Percampuran hutang itu terjaadi misalnya A sebagai ahli waris mempunyai hutang pada B sebagai pewaris. Kemudian B meninggal dunia dan A menerima warisan termasuk juga hutang atas dirinya sendiri. Dalam hal ini hutang lenyap demihukum.
6. Pembebasan Hutang
Pembebasan hutang dapat terjadi apabila kreditur dengan tegas menyatakan tidak menhendaki lagi prestasi dari debitur dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan perikatan. Denmgan pembebasan ini perikatan menjadi lenyap atau hapus. Menurut pasal 1438 KUH Perdata, pembebasan tidak boleh berdasarkan persangkaan, melainkan haruss dibuktikan. Bukti tersebut dapat digunakan, misalnya dengan pengembalian surat piutang asli oleh kreditur kepada debitur secara sukarela (pasal 1439 KUH Perdata).
7. Musnahnya Benda yang Terhutang
Menurut ketentuan pasal 1444 KUH perdata, apabila benda tertentu yang menjadi objek perikatan itu musnah, tidak dapat lagi diperdagangkan, atau hilang, di luar kesalahan debitur dan sebelumnya ia lalai menyerahkan nya pada waktu yang telah ditentukan, maka perikatannya memnjadi hapus. Tetapi bagi mereka yang memperoleh benda itu secara tidak sah, misalnya karena pencurian, mka musnahnya atau hilangnya benda itu tidak membebaskan debitur (orang yang mencurinya) untuk mengganti harganya. Meskipun debitur lalai menyerahkan benda itu, ia pun akan bebas dari perikatan itu, apabila ia dapat membuktikan bahwa hapusnya atau musnahnya benda itu disebabkan oleh suatu kejadian di luar kekuasaannya dan benda itumjuga akan menemui nasib yang sama, meskipun sudah berada di tangan kreditur.

8. Karena Pembatalan
Dalam pasal 1446 KUH Perdata ditegaskan bahwa hanyalah menganai soal pembatalan saja dan tidak mengenai kebatalannya, karena syarat-syarat untuk batal yang disebutkan itu adalah syarat-syarat subjektif yang ditentukan dalam pasal 1320 KUH Perdata. Jika syarat-syarat subjektif tidak dipenuhi, maka perikatan itu tidak batal, melainkan "dapat dibatalan" (vernitigbaar, voidable).
Perikatan yang tidak memenuhi syarat-syarat subjektif dapat dimintakan pembatalannya kepada Hakim dengan dua cara yaitu :
a. Dengan cara aktif, yaitu meneuntut pembatalan kepada Hakim dengan mengajukan gugatan;
b. Dengan cara pembelaan, yaitu menunggu sampai digugat dimuka Hakim untuk memenuhi perikatan dan baru diajukan alasan kekurangan dari perikatan itu.
Sementara itu, untuk pembatalan secara aktif, undang-undang memeberikan pembatasan waktu yaitu lima tahun (pasal 1445 KUHPdt). Sedangkan pembatalan untuk pembelaan tidak diadakan pembatasan waktu waktu.
9. Berlaku syarat batal
Maksud dengan syarat disini adalah ketentuan perjanjian yang disetujui oleh kedua belah pihak, syarat manajika dipenuhi mengakibatkan perikatan itu batal (neitig, void), sehingga perikatan menjadi hapus. Syarat ini disebut "syarata batal". Syarat batal pada asasnya selalu berlaku surut, yaitu sejak perikatan itu dilahirkan. Perikatan yang batal dipulihkan dalam keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perikatan.
10. Lampau waktu (daluarsa)
Menurut ketentuan pasal 1956 BW, "lampau waktu adalah alat untuk memperoleh sesuatu (acquissitieve verjaring) atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang" (extintieve verjaring).


21. Kuliah Kedua puluh Satu (K.21)
G. Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian
1. Istilah dan Pengertian Perjanjian
Istilah Perjanjian terkadang digunakan bersamaan dengan istilah lainnya seperti kontrak, untuk itu perlu adanya penegasan, artinya mana padananan kata atau istilah yang tepat untuk digunakan. Dikatakan demikian karena terkadang secara teoritis dan bahkan prakteknya penggunaan suatu istilah jika tidak tepat akan membingungkan dan mengaburkan arti atau konsep dasarnya, dalam arti apakah terminologi yang akan digunakan, apakah kontrak dan atau perjanjian Pembatasan demikian sangat diperlukan, dikatakan demikian, gunanya adalah untuk menyamakan persepsi tentang penggunaan istilah yang tepat dalam pembahasan materinya.
Penggunaan istilah perjanjian sebagaimana dimaksudkan di atas, apakah sama saja dengan kontrak”, terkadang istilah itu baik dalam teori maupun perakteknya bersamaan digunakan dan adakalanya digunakan secara sendiri-sendiri, sehingga bagi pihak yang belum memahami penempatan istilah tersebut cukup membingungkan, untuk itu perlu adanya penjelasan dari segi teoritisnya. Istilah perjanjian ini, terumus dalam bahasa Belanda dengan istilah overeenkomst, yang biasanya diterjemahkan dengan perjanjian dan atau persetujuan. Kata perjanjian menunjukkan adanya makna, bahwa para pihak dalam perjanjian yang akan diadakan telah sepakat tentang apa yang mereka sepakati berupa janji-janji yang diperjanjikan. Sementara itu, kata persetujuan menunjukkan makna bahwa para pihak dalam suatu perjanjian tersebut juga sama-sama setuju tentang segala sesuatu yang mereka perjanjikan. Artinya terjemahan istilah tersebut dapat dikatakan sama, terkadang bahkan digunakan bersamaan, hal ini disebabkan antara keduanya ditafsirkan sama, karena perjanjian itu sendiri sebenar juga adalah persetujuan.
Dari apa yang dikemukakan di atas, dapat dikatakan bahwa penggunaan istilah perjanjian dan kontrak terkadang disamakan saja, hal ini disebabkan, karena kontrak ini juga sebenarnya juga sebagai suatu perjanjian, karena kontrak diartikan sebagai suatu kesepakatan yang diperjanjikan. Sebaliknya perjanjian juga merupakan suatu perbuatan hukum yang pada asasnya lahir karena ada kesepakatan. Hal ini berarti perjanjian dimaksud bermakna cukup luas, dalam perakteknya biasa saja terjadi dengan cara atau bentuk lisan, sebaliknya kontrak dalam perakteknya biasanya dilakukan dalam cara atau bentuk tertulis.
Melihat apa yang dikemukakan tersebut, tanpa mengurangi perbedaan berbagai istilah yang digunakan, namun sebenarnya banyak para ahli yang menyamakan penggunaan istilah dimaksud, dikatakan demikian karena pada satu sisi suatu kontrak yang diadakan menjadi kebiasaan dilakukan secara tertulis. Sebaliknya perjanjian dimungkinkan saja tidak dalam bentuk tertulis, namun pada prinsipnya padanan kedua kata tersebut sering digunakan dalam perakteknya.
Berkaitan dengan uraian di atas, maka untuk memahami lebih jauh, dalam uraian selanjutnya dibahas “bagaimana pengertian kontrak dan atau perjanjian itu sebenarnya”. Mengenai pengertian perjanjian sebagaimana dimaksudkan, sebagai patokan awal, dalam hal ini dapat dipedomani rumusan yang terdapat dalam Pasal 1313 KUHPerdata, di mana rumusan dalam ketentuan undang-undang itu tidak hanya menggunakan istilah perjanjian, tetapi dalam pasal lainnya digunakan juga istilah kontrak, seperti dikenalnya azas kebebasan berkontrak yang terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata.Dalam Pasal 1313 KUHPerdata di tegaskan bahwa suatu perjanjian adalah; “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Rumusan perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata di atas mendapat kritikan dari beberapa ahli, karena dirasakan kurang lengkap artinya terdapat beberapa kelemahannya. Menurut Abdul Kadir Muhammad, kelemahan tersebut, antara lain :Seolah-olah perjanjian tersebut bersifat sepihak saja, sedangkan perjanjian bersifat dua pihak. Hal ini dilihat dari perumusan “....satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih lainnya”. Perkataan “mengikatkan” disini sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, bukan dari kedua belah pihak. Perumusan itu seharusnya “....saling mengikatkan dirinya...” sehingga dengan begitu terdapat konsensus antara pihak-pihak . Jadi, perjanjian baru akan terjadi apabila sudah ada kesepakatan antara kedua belah pihak.
Sementara itu, perkataan “perbuatan” dalam perumusan Pasal 1313 KUHPerdata mengandung pengertian menyangkut juga tindakan atau perbuatan tanpa konsensus dan termasuk juga disini perbuatan melawan hukum. Penggunaan kata yang lebih tepat adalah dengan memakai kata persetujuan. Sedangkan mengenai pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata juga terlalu luas. Hal ini disebabkan karena pengertian perjanjian yang dirumuskan dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut mencakup juga pengertian perjanjian dalam lapangan hukum keluarga, sedangkan yang dimaksud adalah hubungan hukum yang terjadi antara debitur dan kreditur yang terletak dalam lapangan hukum harta kekayaan. Demikian juga dalam rumusannya tidak menyebutkan tujuan. Pengertian perjanjian yang dirumuskan dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut tidak menyebutkan tentang apa yang menjadi tujuan diadakannya perjanjian atau untuk apa pihak-pihak saling mengikatkan diri untuk melakukan perjanjian, sehingga dapat menimbulkan pengertian yang sangat luas. (Abdul Kadir Muhammad, 1982; 77).
Berdasarkan kelemahan-kelemahan yang dikemukakan oleh Abdul Kadir Muhammad di atas, maka seharusnya rumusan tersebut: “Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan harta kekayaan”.(Ibid). Demikian juga halnya dengan R. Setiawan menganggap perlu diadakan perbaikan mengenai pengertian perjanjian tersebut, yaitu: Perbuatan harus diartikan sebagai perbutan hukum, yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum. Menambahkan perkataan “…atau saling mengikatkan dirinya...” dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut.
Dengan demikian perumusannya menjadi: “Persetujuan adalah suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. (R. Setiawan, 1994; 49). Dalam pada itu yang dimaksud dengan kontrak adalah suatu kesepakatan yang diperjanjikan diantara dua pihak atau lebih yang dapat memodifikasi atau menghilangkan hubungan hukum.
Dari pengertian-pengertian perjanjian di atas, maka dapat dikatakan bahwa kedua istilah dan pengertian tersebut pada prinsipnya tidak jauh berbeda, dikatakan demikian, karena pengertian perjanjian dan kontrak dimaksud dilahirkan karena adanya kesepakatan dan pada akhirnya menimbulkan suatu perjanjian dan melahirkan hubungan hukum atau perikatan. Dalam konsep hukum perdata, bahwa perikatan sebagaimana dimaksudkan di atas, tidak saja dilahirkan karena adanya suatu perjanjian dan atau kontrak, tetapi juga disebabkan karena undang-undang menyatakan bahwa suatu peristiwa dan atau perbuatan seseorang tanpa didahului adanya perjanjian/kontrak telah melahirkan hubungan hukum atau perikatan. Seperti adanya perbuatan melawan hokum atau melanggar hokum yang dinyatakan oleh undang-undang telah melahirkan hubungan hukum atau perikatan (Pasal 1365 dan 1367). Artinya orang yang melanggar hukum tersebut terikat untuk menanggung beban kerugian akibat kesalahannya.
2. Pengaturan Mengenai Perjanjian
Peraturan yang dijadikan sebagai dasar hukum perjanjian adalah KUHPerdata Buku III Bab II yang berjudul “Perikatan-perikatan yang Dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian”. Secara sistematis pengaturan mengenai perjanjian dalam KUHPerdata ini terdiri dari empat bagian, yakni dari Pasal 1313 – 1351 KUHPerdata, yang terdiri dari :
Bagian Kesatu yang mengatur tentang ketentuan umum (Pasal 1313 – 1319 KUHPerdata)
Bagian Kedua yang mengatur tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian (Pasal 1320 – 1337 KUHPerdata)
Bagian Ketiga yang mengatur tentang akibat-akibat dari perjanjian (Pasal 1338 – 1341 KUHPerdata)
Bagian Keempat yang mengatur tentang penafsiran perjanjian-perjanjian (Pasal 1342 – 1351 KUHPerdata)
Selain itu, terdapat beberapa ketentuan tambahan mengenai pengaturan perjanjian, yakni :
Pasal 1266 dan 1267 Bab I Buku III KUHPerdata yaitu tentang perikatan-perikatan bersyarat yang merupakan syarat-syarat putus yakni wanprestasi.
Pasal 1446 – 1456 KUHPerdata tentang kebatalan dan pembatalan
Dengan demikian antara perikatan dengan perjanjian mempunyai hubungan yang sangat erat sekali. Hal itu dikarenakan mengenai perjanjian ini diatur dalam Buku III KUHPerdata yang mengatur tentang Perikatan, dimana pengertian perikatan itu sendiri tidak ditegaskan pada salah satu pasalpun. Mengenai hubungan yang erat antara perjanjian dengan perikatan ini dapat dilihat pada Pasal 1233 yang menyatakan : “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena perjanjian, baik karena Undang-undang”. Hal ini berarti, perjanjian melahirkan perikatan, demikian juga halnya dengan undang-undang yang menentukan lahirnya perikatan. Sumber perikatan tersebut digambarkan dalam bentuk skema :
PERIKATAN
(Pasal 1233)


Perjanjian Undang-undang
(Pasal 1313) (Pasal 1352)



Semata-mata Perbuatan
Undang-undang Manusia
(Pasal 1353)



Pekarangan Memelihara Anak
Berdampingan (Pasal 104)
(Pasal 625)

Perbuatan Menurut Hukum Perbuatan
Melawan Hukum



Zaakwaarneming Onverschuldigde Natuurlijk
(Pasal 1354) Betaling Verbintenis
(Pasal 1359 ayat 1) (Pasal 1359 ayat 2)



3. Subjek dan Objek Kontrak/Perjanjian
Dalam suatu perjanjian terdapat pihak-pihak yang mengadakan atau melaksanakan perjanjian dan juga terikat dengan perjanjian tersebut. Pihak itulah yang biasa disebut dengan subjek perjanjian. Menurut Abdul Kadir Muhammad, subjek perjanjian dapat berupa : (Abdul Kadir Muhammad, 1994; 79).
a. Manusia pribadi (Natuurlijk Persoon)
b. Badan hukum (Recht persoon)
Jadi, dapat dikatakan bahwa setiap subjek hukum dapat menjadi subjek dalam perjanjian, dan setiap subjek perjanjian harus mampu dan wenang melakukan perbuatan hukum seperti yang ditetapkan dalam Undang-undang. Pada dasarnya, suatu perjanjian berlaku bagi pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri, hal inilah yang biasanya disebut dengan azas pribadi (Pasal 1315 jo Pasal 1340 KUHPerdata). Sedangkan para pihak tidak dapat mengadakan perjanjian yang mengikat pihak ketiga kecuali dalam apa yang disebut dengan janji guna pihak ketiga (Pasal 1317 KUHPerdata).
Sementara itu, suatu perjanjian harus mempunyai objek yang akan diperjanjikan. Ketentuan dalam Pasal 1320 KUHPerdata menyatakan bahwa salah satu syarat sahnya suatu perjanjian adalah adanya hal tertentu. Ada hal tertentu inilah yang disebut dengan objek perjanjian atau pokok perjanjian. Objek perjanjian dapat berupa benda ataupun berupa prestasi tertentu, yakni berupa benda berwujud atau benda tidak berwujud bisa juga berupa benda yang ada atau benda yang akan ada.

22. Kuliah Kedua Puluh Dua (K.22)
4. Unsur-unsur Perjanjian
Dalam suatu perjanjian, terdapat unsur-unsur sebagai berikut, antara lain :
a. Para pihak yang sedikit-dikitnya dua orang,
Pihak-pihak inilah yang disebut dengan sebagai subjek perjanjian.
b. Ada persetujuan antara pihak-pihak itu.
Persetujuan disini bersifat tetap, bukan sedang dalam tahap berunding. Persetujuan tersebut ditujukan dengan penerimaan tanpa syarat atas suatu tawaran, mengenai syarat-syarat dan mengenai objek perjanjian.
c. Ada tujuan yang akan dicapai dengan diadakannya perjanjian.
Tujuan tersebut yaitu untuk memenuhi kebutuhan para pihak dalam perjanjian, dimana tujuan tersebut sifatnya tidak dilarang oleh undang-undang dan juga tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.
d. Ada prestasi yang akan dilaksanakan.
Prestasi adalah kewajiban yang akan dipenuhi oleh pihak-pihak sesuai dengan syarat-syarat yang diperjanjikan. Pada sistem hukum Anglo Saxon istilah prestasi ini biasa disebut dengan “considerans”. Dimana dengan adanya persetujuan maka akan timbul kewajiban untuk melaksanakan suatu prestasi oleh para pihak dalam perjanjian.
e. Adanya bentuk tertentu.
Bentuk disini perlu ditentukan, karena ada ketentuan Undang-undang yang menyatakan bahwa hanya dengan bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan kekuatan bukti.
f. Ada syarat-syarat tertentu
Syarat-syarat tertentu ini merupakan isi perjanjian, yang mana dari syarat-syarat itu dapat diketahui hak dan kewajiban para pihak. Syarat disini ada yang berupa syarat pokok dan ada pula yang berupa syarat tambahan.
5. Asas-Asas Dalam Perjanjian
Dalam Hukum Perjanjian dikenal beberapa asas. Asas-asas tersebut diantaranya adalah :
1). Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak maksudnya adalah bahwa setiap orang bebas mengadakan perjanjian apa saja baik sudah ataupun belum diatur oleh Undang-undang, bebas untuk tidak mengadakan perjanjian, bebas untuk mengadakan perjanjian dengan siapa pun dan juga bebas untuk menentukan isi, syarat dan luasnya perjanjian. Kebebasan dalam asas ini asalkan tidak melanggar ketentuan Undang-Undang, tidak melanggar kepentingan umum dan kesusilaan. Sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 1337 KUHPerdata . Pembatasan ini diberikan sebagai akibat dari :
a. Perkembangan masyarakat, dimana dengan perkembangan ekonomi membuat orang-orang menggabungkan diri dalam bentuk usaha bersama atau membentuk usaha swasta.
b. Adanya campur tangan pemerintah untuk melindungi kepentingan umum.
c. Adanya aliran masyarakat yang bersifat social ekonomi.
2). Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme maksudnya adalah bahwa pada asasnya suatu perjanjian atau perikatan yang timbul atau lahir adalah sejak detik tercapainya sepakat mengenai hal-hal pokok dan tidak diperlukan suatu formalitas. Ini berarti bahwa perjanjian itu lahir sejak kata sepakat telah tercapai, walaupun dalam pelaksanaannya Undang-undang menetapkan tetap adanya suatu formalitas tertentu. Misalnya adanya keharusan menuangkan perjanjian kedalam bentuk tertulis atau dengan akta notaris. Sedangkan guna perjanjian dituangkan dalam bentuk tertulis yaitu adalah dalam hal sebagai alat bukti.
3). Asas Kepatutan
Asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Pengaturan asas ini ditegaskan dalam Pasal 1339 KUHPerdata, yakni:
“Perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau Undang-undang”. Menurut Prof.Dr. Mariam Darus Badrulzaman, asas kepatutan ini menentukan ukuran mengenai hubungan yang ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.
4). Asas Kekuatan Mengikat
Asas ini dinyatakan secara tegas dalam Pasal 1338 Ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”. Hal tersebut berarti bahwa para pihak mempunyai keterikatan pada perjanjian yang mereka buat.
5). Asas Keseimbangan
Asas keseimbangan menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian yang telah mereka buat dan mereka sepakati. Dimana masing-masing pihak harus memenuhi prestasi yang telah disepakati bersama dengan itikad baik, sehingga tercipta keseimbangan antara kedua belah pihak dalam perjanjian tersebut.
6). Asas Kepastian Hukum
Perjanjian sebagai suatu bentuk produk hukum hendaklah mengandung kepastian hukum. Dalam menciptakan kepastian hukum bagi kedua belah pihak, maka perjanjian itu haruslah mempunyai kekuatan mengikat layaknya sebagai Undang-undang bagi para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut.
7). Bersifat Obligatoir
Maksudnya adalah bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak itu baru dalam tahap menimbulkan hak dan kewajiban, belum sampai pada tahap memindahkan hak milik. Hak milik baru akan berpindah jika telah diperjanjikan tersendiri, hal ini biasanya disebut dengan perjanjian yang bersifat kebendaan.
8). Bersifat Pelengkap
Bersifat pelengkap maksudnya yaitu pasal-pasal dalam Undang-undang boleh disingkirkan apabila para pihak dalam perjanjian menghendakinya, dan mereka sepakat membuat ketentuan sendiri. Tapi jika mereka tidak menentukan mengenai hal tersebut maka ketentuan dalam Undang-undang tetap berlaku.. Buku Ketiga KUHPerdata pada Pasal 1338-1341 mengatur mengenai akibat dari perjanjian, antara lain sebagai berikut :
a. Berlaku sebagai Undang-Undang
Dasar hukumbahwa perjanjian berlaku sebagai Undang-undang adalah Pasal 1338 Ayat (1) KUHPerdata. Sehingga, jika ada salah satu pihak dalam perjanjian yang melanggar perjanjian itu, maka ia dianggap telah melanggar Undang-undang. Terhadap pelanggaran yang dilakukan akan menimbulkan akibat hukum tertentu yaitu berupa pemberian sanksi. Hukuman bagi yang melanggar perjanjian ditetapkan oleh hakim berdasarkan Undang-undang atau berdasarkan permintaan pihak lainnya. Adapun bentuk sanksi yang diberikan dapat berupa:
1). Membayar ganti kerugian (Pasal 1234 KUHPerdata)
2). Perjanjian dapat diputuskan (Pasal 1266 KUHPerdata)
3). Menanggung beban resiko (Pasal 1237 Ayat (2) KUHPerdata)
4). Membayar biaya perkara jika sampai dibawa kehadapan hakim pengadilan (Pasal 181 Ayat (1) HIR).
b.Tidak dapat ditarik kembali
Perjanjian yang telah dibuat secara sah dan mengikat para pihak yang membuat perjanjian tidak dapat ditarik kembali secara sepihak. Akan tetapi perjanjian tersebut dapat saja ditarik kembali apabila:
- Memperoleh persetujuan dari pihak lainnya.
- Adanya alasan-alasan yang cukup kuat menurut Undang-undang.
- Alasan-alasan yang dimaksud adalah alasan yang terdapat dalam KUHPerdata yakni pada Pasal 1571, 1587, 1814 dan 1817.
c . Pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik
Maksud dari pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik disini adalah sebagaimana yang diatur dalam pasal 1338 KUHPerdata yaitu pelaksanaan perjanjian itu hendaknya berjalan dengan memperhatikan norma-norma kepatutan, kesusilaan serta Undang-undang, yakni menyangkut nilai-nilai yang patut, pantas, sesuai, cocok, sopan , layak dan beradab yang ada dalam masyarakat.

23. Kuliah kedua puluh tiga (K.23)
6. Syarat-syarat Sahnya Perjanjian
Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang. Menurut ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata, syarat-syarat sah tersebut antara lain:
1. Adanya persetujuan kehendak antara para pihak yang membuat perjanjian;
2. Adanya kecakapan para pihak untuk membuat perjanjian;
3. Ada suatu hal tertentu;
4. Ada suatu sebab yang halal.
Syarat pertama dan kedua di atas disebut syarat subjektif, karena melekat pada diri orang yang menjadi subjek perjanjian. Jika syarat ini tidak dipenuhi, perjanjian dapat dibatalkan . Tetapi jika tidak dimintakan pembatalan kepada Hakim, perjajian itu tetap mengikat pihak-pihak, walaupuin diancam pembetalan sebelum lampau waktu lima tahun (pasal 1454 KUHPdt).
Syarat ketiga dan kempat merupakan disebut syarat objektif, karena mengenai sesuatu yang menjadi object perjanjian. Jika syrat ini tidak dipenuhi, perjanjian batal. Kebatalan ini dapat diketahui apabila perjanjian tidak mencapai tujuan karena salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Kemudian diperkarakan ke Muka hakim, dan Hakim menyetakan perjanjian batal, karena tidak memenuhi syarat objektif. karena tidak memenuhi syarat objektif.
Persetujuan Kehendak
Persetujuan kehendak adalah kesepakatan antara pihak-pihak yang mengadakan perjanjian, dalam arti apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lainnya. Persetujuan kehendak tersebut sifatnya bebas, artinya tidak ada paksaan, tekanan dari pihak manapun, betul-betul atas kemauan sukarela pihak-pihak. Dalam persetujuan kehendak dimaksud juga tidak ada kekilafan dan tidak ada penipuan.
Dikatakan tidak ada paksaan, apabila orang yang melakukan perbuatan itu tidak berada dibawah ancaman, baik dengan kekerasan jasmani maupun dengan upaya menakut-nakuti, misalnya akan membuka rahasia, sehingga dengan demikian orang itu terpaksa menyetujui perjanjian yang akan diadakan (Pasal 1324 KUHPerdata).
Dikatakan tidak ada kekilafan atau kekeliruan ataupun kesesatan, apabila salah satu pihak tidak kilaf atau tidak keliru mengenai pokok perjanjian atau sifat-sifat penting objek perjanjian atau mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu. Menurut Pasal 1322 ayat i dan 2 KUHPerdata, kekeliruan atau kekilafan tidak mengakibatkan batal suatu perjanjian, kecuali apabila kekeliruan atau kekilafan itu terjadi mengenai hakekat benda yang menjadi pokok perjanjian atau mengenai sifat khusus/keahlian khusus diri orang dengan siapa diadakan perjanjian.
Akibat Hukum tidak ada persetujuan kehendak (karena paksaan, kehilafan, penipuan) ialah bahwa perjanjian itu dapat dimintakan pemabatalannya kepada Hakim (vernietigbaar, voidable). Menurut ketentuan pasal 1454 KUHPdt, pembatalan dapat dimintakan dalam tenggang waktu lima tahun, dalam hal ada paksaan dihitung sejak hari paksaan itu berhenti; dalam hal ada kehilafan dan penipuan dihitung sejak hari diketahuinya kekhilafan dan penipuan itu.


7. Berakhirnya Perjanjian
Berakhirnya suatu perjanjian memang tidak diatur secara tersendiri dalam Undang-undang. Akan tetapi, mengenai berakhirnya perjanjian ini dapat disimpulkan dari beberapa ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang. Berakhirnya persetujuan harus benar-benar dibedakan dari pada hapusnya perikatan, karena suatu perikatan dapat hapus sedangkan persetujuannya yang merupakan sumbernya masih tetap ada. Hal tersebut bisa ditemukan dalam perjanjian jual beli, dimana apabila harga sudah dibayar maka perikatan mengenai pembayaran sudah hapus, tetapi perjanjiannya belum hapus karena perjanjian penyerahan barang belum terlaksana.
Berakhirnya perjanjian sebagai akibat dari berakhirnya semua perikatan ini tidaklah berlaku secara mutlak, karena ada perjanjian yang menyebabkan suatu perikatan hapus atau berakhir. Hal tersebut dapat kita temui dalam suatu perjanjian yang berlaku surut, misalnya saja akibat dari pembatalan yang disebabkan oleh salah satu pihak melakukan wanprestasi (Pasal 1266 KUHPerdata) maka segala perikatan yang telah terlaksana menjadi hapus. Berkaitan dengan hapusnya perjanjian dimaksud, dalam prakteknya disebabkan beberapa hal, antara lain :
1). Ditentukan terlebih dahulu dalam persetujuan oleh para pihak;
Misalnya persetujuan yang dibuat ditentukan untuk batas waktu tertentu, bila perjanjian sampai pada batas waktu yang ditentukan, maka perjanjian akan berakhir.
2). Undang-undang menentukan batas waktu berlakunya;
Waktu tertentu tersebut dijelaskan lagi dalam pasal 1066 ayat (4) yang berbunyi : “Persetujuan yang sedemikian hanyalah mengikat untuk selama lima tahun, namun setelah lewatnya tenggang waktu ini, dapatlah persetujuan itu diperbaharui”.
3). Oleh para pihak atau oleh Undang-undang ditentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu;
Jika salah satu pihak meninggal dunia maka persetujuan menjadi hapus.
4). Salah atu pihak atau kedua belah pihak memberikan pernyataan menghentikan atau mengakhiri perjanjian (opzegging);
Opzegging ini hanya ada pada persetujuan–persetujuan yang bersifat sementara, seperti pada perjanjian kerja dan perjanjian sewa menyewa.
5). Adanya putusan hakim untuk mengakhiri suatu perjanjian yang diadakan;
6). Telah tercapainya tujuan diadakan dalam perjanjian.

24. Kuliah kedua puluh empat (K. 24)
H. Perikatan Yang Lahir Dari Undang-undang
a. Ketentuan undang-undang
Perikatan yang diuraikan dalam bagian ini ialah perikatan yang lahir dari undang-undang sebagai akibat dari perbuatan orang. Jadi, bukan orang yang berbuat itu menetapkan adanya perikatan, melainkan undang-undang menetapkan adanya perikatan. Perbuatan orang itu dikalsifikasikan menjadi dua, yaitu perbuatan yang sesuai dengan hukum dan perbutan yang tidak sesuai dengan hukum.
Perikatan yang timbul dari perbutan yang sesuai dengan hukum ada dua, yaitu penyelenggaan kepentingan (zaakwarneming) diatur dalam pasal 1359 s/d 1364 KUH Perdata. Sedangkan perbutan yang timbul dari perbutan yang tidak sesuai dengan hukum dalah perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) diatur dalam pasal 1365 s/d 1380 KUH Perdata.
Perbutan melawan hukum dapat ditujukan pada harta kekeyaan orang lain dan dapat pula ditujukan pada diri pribadi orang lain, perbuatan mana menimbulkan kerugian pada orang lain itu. Dalam hukum Anglo Saxon, perbuatan melawan hukum disebut "tort". Soerjono Soekonto menerjemahkan onrechtmatigedaad dengan "penyelewengan perdata". Sebenarnya perikatan yang lahir dari undang-undang ini antara lain dapat berbentuk ; zaarwaarneming, onverschuldigdebetaling, natuurlijke verbintenis dan onrechtmatigedaad, namun dalam pembahasan selanjutnya hanya dibahas mengenai zaakwaarneming dan onrechtmatigedaad, hal ini disebabkan perbuatan demikianlah yang dominan terjadi dalam peraktek kehidupan masyarakat.
b. Penyelenggaraan Kepentingan (zaakwaarneming)
Menurut ketentuan pasal 1354 KUH Perdata, jika seseorang dengan sukarela tanpa mendapat perintah untuk itu, mewakili urusan orang lain dengan atau tanpa pengetahuan orang itu, maka secara diam-diam mengikat dirinya untuk meneruskan serta menyelesaikan urusan tersebut hingga orang yang diwakili keppentingan itu dapat mengerjakan segala sesuatu yang termasuk urusan itu. Selanjutnya ia diwajibkan pula mengerjakan segala sesuatu yang termasuk urusan tersebut. Ia memikul segala kewajiban yang harus dipikulnya, seandainya ia dikuasakan dengan suatu pemberian kuasa yang dinyatakan dengan tegas.
Figur hukum yang diatur dalam pasal 1354 KUH Perdata ini disebut zaakwarneming, yang oleh Sri Soedewi (1974 : 53) diterjemahkan dengan kata-kata "peyelenggaraan kepentingan". Orang yang menyelenggarakan kepentingan itu tidak dengan kuasa dari orang yang berkepentingan. Unsur-unsur penyelenggaraan kepentingan adalah sebagai berikut :
1. Perbuatan itu dilakukan dengan sukarela, artinya atas kesadaran sendiri tanpa mengharapkan suatu apapun sebagai imbalannya. Yang melakukan perbuatan itu tidak mempunyai kepentingan apa-apa, kecuali manfaat yang berlkepentingan sendiri. Dalam hal ini ia bertindak semata-mata karena kesediaan sesama manusia, sesama anggota keluarga, sesama teman.
2. Tanpa mendapat perintah atau kuasa, artinya yang melakukan perbuatan itu bertindak atas inisiatif sendiri tanpa ada pesan, perintah, kuasa dari pihak yang berpekepentinmgan baik lisan maupun tulisan.
3. Mewakili urusan orang lain, artinya yang melakukan perbuatan itu bertindak untuk kepentingan orang lain, bukan kepentingan pribadi sendiri. Urusan yang diwakili itu dapat berupa perbuatan atau hukum atau perbutan wajar, misalnya memelihara hewan, barang-barang berharga, mengurus harta benda yang terlantar.
4. Dengan atau tanpa pengetahuan orang itu, artinya orang yang berkepentingan itu tidak mengetahui bahwa kepentingan diurus oleh orang lain. Namun demikian, jika ia mengetahui hal itu ia tidak mencegah dan tidak pula memberi kuas kepada orang yang menyelenggarakan kepentingan itu. Jadi, secara diam-diam ia menyetujui kepentingan diurus oleh orang lain, walaupun mungkin bertentangan dengan kehendaknya.
5. Wajib meneruskan dan menyelesaikan urusan itu, artinya sekali ia melakukan perbuatan untuk kepentingan orang itu, ia harus mengerjakan sampai selesai, sehingga orang yang diewakili kepentingan itu dapat menikmatik manfaatnya atau dapat mengerjakan segala sesuatu yang termasuk urusan itu. Untuk itu ia harus memenuhi segala kewajiban sebagai seorang bapak yang baik. Ia juga diwajibkan menurut keadaan memberikan pertangungan jawaban. Ia juga mengeluarkan biaya-biaya untuk mengurus kepentingan itu.
6. Bertidak menurut hukum, artinya dalam melakukan perbutan mengurus kepentingan itu, harus dilakukan berdasarkan kewajiban menurut hukum (undang-undang) atau bertindak tidak bertentngan dengan kehendak pihak yang berkepentingan.
Karena perikatan ini lahir dari undang-undang maka hak dan kewajiban pihak-pihak juga ditetapkan oleh undang-undang, seperti berikut ini;
1. Hak dan kewajiban mewakili
Ia wajib mengerjakan segala sesuatu yang termasuk urussan itu sampai selesai, dengan memberikan pertangung jawaban. Apabila yang berkepentingan meninggal dunia, yang mengurus kepentingan itu meneruskan ahli waris orang itu dapat mengoper pengurusan tersebut (pasal 1355 KUH Perdata). Yang mengurus kepentingan itu memikul segala beban, biaya atau ongkos mengurus kepentingan itu.
Orang yang mengurus kepentingan itu berhak mendapat ganti kerugian dari orang yang diwakili atas segala perikatan yang dibuatnya secara pribadi dan memperoleh penggantian atas segala pengeluaran yang berfaedah atau perlu (pasal 1357 KUH Perdata). Jika ganti kerugian atau pengeluaran itu belum dilunasi oleh yang berkepentingan, orang yang mewakili itu berhak menahan benda-benda yang diurusnya sampai ganti kerugian atau pemngeluaran dilunasi. Hak ini disibur "retensi".
2. Hak dan kewajiban yang diwakili
Pihak berkepentingan wajib memenuhi perikatan yang dibuat oleh wakili itu atas namanya, membayar ganti kerugian atau pengeluaran yang telah dipenuhi oleh pihak untuk mengurus kepentingan itu (pasal 1357 KUH perdata). Orang yang berkepentingan berhak atas keringanan pembeyaran ganti kerugian atau pengeluaran itu, yang disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian pihak yang mengurus kepentingan itu berdasarkan petimbangan hakim (pasal 1357 ayat 2 KUH Perdata). Pihak yang berkepentingan berhak meminta pertanggung jawaban atas pengurusan kepentingan itu.
Dalam perikatan zaakwaarneming tidak dikenal upah. Undamg-undang menentukan bahwa pihak yang telah mewakili urusan orang lain, tidak berhak atas suatu upah (pasal 1358 KUH perdata). Namun demikian, pertimbangan untuk memberikan sekedar imbalan atas dasar kemanusiaan terserah pada orang yang berkepentingan sendiri.
Jika diperhatikan, perikatan zaakwarneming ini sesuai dengan falsafah negara kita Pancasila. Perikatan ini perlu dioper dalam hukum perdata nasional kita. Walaupun berdasarkan observasi jarang ditemukan keadaan ini, motivasi timbulnya perikatan ini dapat dijumpai dalam masyarakat yang sifat pangujuban masih diutamakan, misalnya di daerah pedesaan, di daerah yang jauh dari kota besar. Contoh zaakwarneming adalah sebagai berikut :
(1) Orang yang berkeinginan berdinas di suatu daerah karena mendapat kecelakaan lalu lintas, kemudian dirawat di R.S. Sementara anak dan rumahnya diurus oleh tetangga dekatnya, sedangkan yang bersangkutan tidak mempunyai keluarga yang berhak mengurus itu. Tetangga dekat tersebut menurut undang-undang wajib mengurus anak dan harta kekayaannya itu sampai yang bersangkutan pulih kembali.
(2) Seorang dosen yang memelihara ternak ayam negeri dalam jumlah yang besar, pergi keluar negeri karena mendapat tugas belajar dan perginya secara mendadak, sehingga terlantar usahanya itu. Tanpa kuasa dari yang bersangkutan, kakaknya mengurus ternak tersebut.
Ada beberapa perbedaan antara penyelenggaraan kepentingan (zaakwaarneming) dan pemberian kuasa (lastgeving) antara lain:
1. Pada penyelenggaraan kepentingan, perikatan timbul karena undang-undang, sedangkan pada pemberian kuasa, perikatan timbul karena adanya perjanjian;
2. Penyelemngaraan kepentingan tidak berhenti jika yang diwakili itu meninggal dunia, sedangkan pada pemberian kuasa, perikatan berhenti jika pemberi kuasa meninggal dunia;
3. Pada penyelenggaraan kepentingan tidak dikenal upah, karena dilakukan secara sukarela, sedangkan pada pemberian kuasa, penerima kuasa berhak atas upah karena diperjanjikan.

c. Perbuatan Melawan Hukum
Dalam usaha mengetahui apa yang dimaksudkan dengan "perbuatan melawan hukum" (onrechtmatige daad), Pasal 1365 KUHPerdata menentukan sebagai berikut: "Tiap perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang bersalah menimbulkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut". Dari ketentuan pasal tersebut, dapat ditarik empat unsur penting yakni:
1. Perbuatan itu harus melawan hukum (onrechtmatig);
2. Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian;
3. Perbuatan itu harus dilakukan dengan kesalahan;
4. antara kesalahan dan kerugian yang timbul harus ada hubungan kausal.
Salah satu saja dari unsur tersebut tidak dipenuhi, maka perbuatan itu tidak dapat dikatakan perbuatan melawan hukum.
Perbuatan Melawan hukum terhadap diri pribadi
Perbuatan melawan hukum terhadap diri pribadi ini, dapat kita contohkan seperti penghinaan. Penghinaan adalah perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan, jadi dapat dimasukkan dalam perbuatan melawan hukum yakni pencemaran nama baik seseorang. Oleh karenanya dapat dituntut berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, dikatakan demikian, karena penghinaan dapat menimbulkan kerugian terhadap nama baik seseorang, martabat dan kedudukan seseorang dalam masyarakat. Menurut ketentuan dalam Pasal 1372 KUHPerdata; "gugatan berdasarkan penghinaan bertujuan mendapatkan ganti kerugian serta pemulihan nama baik seseorang.


















DAFTAR BACAAN

Ahmad Ichsan, Hukum Perdata IA, Pembimbing Masa, Jakarta, 1969;
R.Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1975;
Riduan Syahrani, Seluk-beluk dan Azas-azas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 1992;
Saleh Adiwinata, Perkembangan Hukum Perdata/Hukum Adat Sejak Tahun 1960, Alumni Bandung, 1983;
Z.Ansori Ahmad, Sejarah dan Kedudukan BW di Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1986;
Sri Soedewi Masjhoen Sofwan, Hukum Perdata dan Hukum Benda, Seksi Hukum Perdata, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 1975;