Selasa, 21 April 2009

Pengetahuan Dasar Hukum Perdata

Kuliah Pertama (K.1)
BAB I
P E N D A H U L U A N

Era globalisasi yang melanda dunia pada dekade terakhir, berpengaruh terhadap Indonesia yang tidak henti-hentinya dilanda berbagai krisis, baik ekonomi, politik, HAM, keamanan negara dan sebagainya, tanpa kompromi, Indonesia sebagai Negara besar harus tetap eksis memperhatikan perkembangan pergaulannya dengan bangsa lain dimuka bumi ini, karena Indonesia sendiri adalah salah satu komponen penghuninya yang harus tetap berhubungan dengan negara dan bangsa lain. Dalam pada itu, sebagai akibat adanya kemungkinan timbulnya pengaruh secara timbal balik arus era globalisasi dan informasi dimaksud, maka salah satunya adalah mempersiapkan keberadaan hukum Perdata Nasional yang mempunyai ciri khusus dan sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia sendiri, namun mampu menjawab tantangan kedepan dalam menghadapi persaingan yang semakin kompetitif dengan bangsa-bangsa lainnya, khusus dengan masuknya unsur-unsur asing (foreign element) yang telah melintasi batas negara sendiri, sehingga mau tidak mau dan sangat mendesak adalah keberadaan hukum perdata nasional dimaksud.
Berkaitan dengan itu, sebenarnya sejak jauh hari salah seorang pakar hukum yang sangat disegani dan dihormati oleh kalangan ilmuan hukum, beliau adalah Prof. Dr. Mr. R. Soepomo, pernah mengemukakan dan mengingatkan dalam pidato Dies Natalis Universitas Gajah Mada Yogyakarta pada tanggal 17 Agustus 1947; “bahwa hukum dalam masyarakat itu dipengaruhi oleh perkembangan masyarakat itu sendiri, maka Hukum Perdata Nasional nantinya harus pula dapat menyesuaikan dirinya dengan cita-cita Nasional menurut aspirasi Bangsa Indonesia”. Karena itu dalam menanggapi perkembangan hukum perdata dewasa ini perlu diarahkan kepada arus pembawaan jiwa dan kebudaayan Nasional menuju kepada penemuan Hukum Perdata Nasional yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan tindak-tindak perdata, baik yang bersifat dan beraliran barat maupun yang bersendi kepada norma-norma kebuyaan timur” (A.Ichsan, 1969 : 5)

Beranjak dari pendapat ahli hukum tersebut, hal ini dapat diartikan bahwa “adanya harapan agar para penerus bangsa ini untuk lebih memperhatikan kehidupan bangsanya disamping tetap memperhatikan pergaulan dengan bangsa lainnya. Dikatakan demikian, karena berbagai produk peraturan-peraturan peninggalan penjajahan Belanda, baik itu Burgerlijk WetBoek (BW) selanjutnya disebut KUHPerdata, WetBoek Van Koophandel (WvK) selanjutnya disebut dengan KUHDagang, dapat dikatakan telah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, walaupun sebenarnya telah ada berbagai produk peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh negara, seperti Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, Undang-undang Pokok Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Undang-undang Perseroan Terbatas No. 1 Tahun 1995, Undang-udang Hak Tanggungan Atas Tanah dan benda-benda yang ada di atas Tanah No. 4 Tahun 1996, Undang-undang Jaminan Fiducia No. 42 Tahun 1999, Undang-undang Yayasan No. 16 Tahun 2001, Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 dan lain-lain.
Adanya ketentuan-ketentuan di atas dan peraturan lainnya sangat berpengaruh terhadap keutuhan ketentuan peninggalan penjajahan dan oleh karenanya keadaan itu janganlah membuat bangsa ini tertidur dan dinina bobokkan dengan adanya Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945 yang dibuat tanpa batas yang jelas dan tegas tentang saat kapan berakhirnya. Mencerermati keadaan tersebut wajarlah bahwa Sahardjo, S.H., waktu menjadi Menteri Kehakiman RI pada Tahun 1962 memunculkan suatu gagasan yang diajukan dalam rapat Badan Perancang Hukum Nasional (BPHN) menyarankan bahwa: “khusus KUHPerdata tidak lagi sebagai undang-undang, melainkan sebagai dokumen saja yang hanya menggambarkan suatu kelompok hukum yang tidak tertulis” (Z.A. Ahmad, 1986 : 47). Selanjutnya gagasan Sahardjo, S.H. tersebut dikemukakan lagi dalam Kongres Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (MIPI) di Yogyakarta Tahun 1962 melalui prasaran Mr. Wirjono Prodjodikoro dengan judul; “Keadaan Transisi dari Hukum Perdata Barat”, di mana isi prasaran tersebut mengemukakan hal-hal sebagai berikuit :
Peraturan dari zaman Belanda yang sekarang masih berlaku dan belum dicabut, sudah tidak sesuai lagi dengan kepentingan masyarakat Indonesia saat ini;
Mempertanyakan; “apakah BW harus menunggu dicabut dulu, untuk memberhentikan berlakunya sebagai Undang-undang di Indonesia”;
Gagasan Sahardjo, S.H., untuk menganggap BW tidak lagi sebagai Undang-undang tetapi hanya sebagai dokumen yang berisi hukum tidak tertulis saja, adalah sangat menarik. Artinya dengan menganggapnya sebagai dokumen, para hakim akan lebih leluasa untuk mengenyampingkan pasal-pasal BW yang tidak sesuai lagi dengan kepentingan Nasional;
Karena BW hanya tinggal sebagai pedoman saja, maka demi kepentingan hukum dia perlu secara tegas dicabut. Pencabutannya tidak perlu dengan suatu Undang-undang, tetapi cukup dengan suatu pernyataan saja dari Pemerintah atau Mahkamah Agung (Z.A. Ahmad, 1986 : 47).

Kelanjutan gagasan Sahardjo, S.H., yang telah dibawakan pada Kongres MIPI mendapat tanggapan positif dari Mr. Wirjono Prodjodikoro yang waktu itu sebagai Ketua Mahkamah Agung RI yang mengeluarkan Surat Edaran No. 3 Tahun 1963 yang berisi gagasan; “untuk menganggap BW tidak lagi sebagai Undang-undang, konsekuensi gagasan ini adalah dengan mencabut berlakunya sebanyak delapan pasal dari BW tersebut”. Dasar pertimbangan keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung berawal dari prasaran dalam Kongres MIPI Tahun 1962, di mana para hadirin yang umumnya terdiri dari para ahli hukum yang hadir pada waktu itu menyetujuinya dan demikian juga halnya yang tidak ikut kongres juga menerimanya. Tetapi kemudian dalam kenyataannya harus diakui banyak juga dari mereka yang tidak hadir yang menentang gagasan Sahardjo, S.H. dan keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 tersebut, diantaranya adalah; Prof. Mr. Mahadi dan demikian juga Prof. Subekti, S.H., sebagai pengganti Prof. Mr. Wirjono Prodjodikoro sebagai ketua Mahkamah Agung pada waktu itu. Ketidak setujuan Prof. Subekti dikemukakannya di depan Seminar Hukum Nsional II di Semarang pada Tahun 1968 dan pada saat ceramah dihadapan dosen hukum dagang saat mengikuti “Post Graduate Course” di Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta Tahun 1975. Menurut Subekti, bahwa :
“baik gagasan seorang Menteri Kehakiman maupun Surat Edaran mahkamah Agung, bukanlah merupakan sesuatu sumber hukum formal, paling-paling dia hanya dapat dianggap sebagai suatu anjuran pada para hakim untuk jangan takut-takut menyingkirkan pasal-pasal dari BW yang dirasakan sudah tidak sesuai lagi dan membikin yurisprudensi, sebab hanya yurisprudensilah yang dapat menyingkirkan pasal-pasal dari BW itu, seperti; Pasal 108 BW, Arrest 31 Januari 1919 yang memperluas pengertian Pasal 1365 BW, Arrest Bierbrouwerij Oktober 1925 yang menyingkirkan Pasal 1152 BW yang mengharuskan penyerahan barang yang digadaikan, tetap dalam kekuasaan orang yang menggadaikan” (Z.A. Ahmad, 1986 : 51).

Melihat uraian di atas, dapat dikatakan bahwa keberadaan KUHPerdata sebagai ketentuan undang-undang hingga saat ini masih terus diperdebatkan, artinya usulan-usulan yang menganggap dia hanya sebagai dokumen hukum saja tetap menjadi perdebatan diantara kalangan ahli hukum, tetapi setidak-tidaknya ide itu perlu terus dipikirkan dan dipertimbangkan, terutama baik kalangan ahli hukum, peraktisi hukum dan para pihak yang mempunyai kewenangan dalam pengambilan keputusan, untuk terus menggali dan mencermati berlakunya ketentuan peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa, dan tidak terpaku dengan Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945 yang tidak membuat batasan yang jelas dan tegas tentang limit waktu berakhirnya ketentuan peninggalan penjajahan tersebut. Ditambah lagi ketentuan-ketentuan peninggalan penjajahan sudah berusia cukup lama, di mana di negeri Belanda sendiri sebenarnya sudah sejak lama tidak diberlakukan lagi. Maka sudah sewajarnyalah bangsa ini memikirkan tentang bagaimana ketentuan-ketentuan yang berkaitan peraturan-peraturan peninggalan penjajahan tersebut diganti dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi dengan jalan terus berupaya membuat dan memberlakukan ketentuan baru yang sesuai dengan keadaan bangsa dan kemajuan zaman, karena ketentuan-ketentuan yang bersifat keperdataan dalam perkembangannya dan penerapannya dapat saja dipengaruhi oleh berbagai aspek hukum lainnya, seperti; aspek hukum pidana, administrasi maupun ketentuan hukum Internasional sebagai akibat pengaruh global dan hubungan antar warga yang berlainan kewarganegaraannya.

Pada pertemuan pertama ini diberikan materi tentang :
a. Pengenalan mata kuliah, silabus/acuan perkuliahan, referensi/bahan bacaan dan sasaran
perkuliahan;
b. Istilah dan Pengertian Hukum Perdata.
Ad.1.a. Pengenalan mata kuliah, silabus/acuan perkuliahan
Acuan perkuliahan yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan hukum perdata pada umumnya baik sifatnya teoritis maupun teknis, di mana materi kuliah dibagi atas beberapa bab dan sub bab, demikian juga bahan bacaan yang diperlukan sebagai pendukung perkuliahan.
Sasaran perkuliahan

Mata kuliah hukum perdata merupakan mata kuliah yang sangat penting yang harus dikuasai oleh setiap mahasiswa fakultas hukum, karena didalam pembahasannya diberikan dasar-dasar yang kuat tentang hukum perdata tersebut yang berpedoman pada ketiga buku dari KUHPerdata. Oleh karenanya setelah mengikuti mata kuliah ini, diharapkan mahasiswa mengerti dan memahami tentang kerangka hukum perdata tersebut, sehingga mahasiswa mempunyai landasan yang kuat untuk mengikuti materi kuliah lainnya yang erat kaitannya dengan keperdataan, seperti hal-hal yang berkaitan dengan orang, kebendaan dan perikatan yang pada dasarnya secara faktual erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat.

Ad.1.b. Istilah dan Pengertian Hukum Perdata
Dalam kurikulum Pendidikan Tinggi Ilmu Hukum di Indonesia pada awal berdirinya telah ditemui berbagai istilah dan atau penamaan dari “hukum perdata”, baik itu pada Fakultas Hukum, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum maupun Akademi Hukumnya. Istilah dan atau penamaan hukum perdata dimaksud, dikenalkan dengan berbagai istilah dan atau penamaan hukum perdata di dalam kurikulum pendidikannya. Demikian juga halnya dengan kalangan sarjana hukum, namun demikian, dengan adanya Konsorsium Ilmu Hukum, menurut Z. Ansori Ahmad "dalam khazanah ilmu hukum di Indonesia, pernah dikenal adanya istilah dan pembedaan antara Hukum Perdata BW dan Perdata Adat (Z.A. Ahmad, 1986 : 1).
Pembedaan sebagaimana dimaksudkan, dapat diartikan erat hubungannya dengan sejarah dan sisa-sisa politik masa lampau dari Penjajahan Kolonial Belanda, yang sampai saat ini masih tetap berlaku sebagai hukum positif berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Sementara itu dalam penamaan istilahnya, konsorsium ilmu hukum, mempergunakan istilah "hukum perdata" ditujukan untuk "hukum perdata BW" dan hukum adat untuk "hukum perdata adat". Kenyataan ini dapat diartikan, bahwa dibidang hukum perdata terjadi dualisme, di mana untuk golongan Erofah diberlakukan hukum perdata (BW) sebaliknya untuk golongan bumi putera diberlakukan hukum adat mereka, sementara itu mengenai hukum perdata BW di maksud, diberlakukanlah di daerah Hindia Belanda dengan menggunakan asas konkordansi.
Kata-kata perdata sebagaimana dimaksudkan pertama kali secara resmi terdapat dalam perundang-undangan Indonesia ditemui dalam Konstitusi RIS yakni pada Pasal 15 ayat 2, Pasal 144 ayat 1 dan Pasal 158 ayat 1. Dalam UUDS RI Tahun 1950 istilah perdata dapat dilihat pada pasal 15 ayat 2, Pasal 101 ayat 1 dan Pasal 106 ayat 3. Beranjak dari ketentuan –ketentuan tersebut, terutama penggunaan istilah hukum perdata merupakan alih bahasa dari bahasa Belanda yakni burgerlijk recht, hal ini secara resmi dapat dilihat dalam Pasal 102 UUDS, demikian juga dapat dilihat dalam Undang-undang Darurat No. 5 Tahun 1952 Tentang Bank Industri Negara yang termuat dalam Lembaran Negara RI Tahun 1952 No. 21 pada tanggal 20 Pebruari Tahun 1952 dan diundangkan pada tanggal 28 Pebruari Tahun 1952. Padanan istilah yang sama dengan burgerlijk recht tersebut adalah civiel recht dan atau privat recht, dalam hal mana burger diartikan sebagai warga masyarakat, sedangkan privat diartikan dengan pribadi, sebaliknya civiel berarti warga masyarakat.
Keadaan tersebut, jika dilihat dalam bahasa Inggrisnya, hukum perdata dikenal dengan istilah civil law. Kata civil berasal dari bahasa Latin yakni “civis”yang berarti warga negara. Hal tersebut berarti, bahwa civil law atau hukum sipil itu merupakan hukum yang mengatur tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan hak-hak warga negara dan atau perseorangan. Beranjak dari itu, jika dilihat dari berbagai literatur yang ditulis para sarjana, juga dijumpai berbagai macam definisi hukum perdata, terkadang satu sama lainnya berbeda-beda, namun tidak menunjukan perbedaan yang tidak terlalu prinsipil. Kebanyakan para sarjana menganggap hukum perdata sebagai hukum yang mengatur kepentingan perseorangan (pribadi) yang berbeda dengan "hukum publik" sebagai hukum yang mengatur kepentingan umum (masyarakat).
Dalam uraian berikut dikemukakan beberapa pandangan dari para ahli hukum berkaitan dengan pengertian hukum perdata dimaksud, antara lain; H.F.A. Vollmar memberikan suatu pengertian tentang hukum perdata sebagai berikut, hukum perdata adalah :
“Aturan-aturan atau norma-norma yang memberikan pembatasan dan oleh karenanya memberikan perlindungan pada kepentingan-kepentingan perseorangan dalam perbandingan yang tepat antara kepentingan yang satu dengan kepentingan yang lain dari orang-orang dalam suatu masyarakat tertentu terutama yang mengenai hubungan keluarga dan hubungan lalu lintas” (H.F.A. Vollmar, 1989: 2).

Selanjutnya Sudikno Mertokusumo juga memberikan pengertian dari hukum perdata, menurut beliau, hukum perdata adalah “hukum antar perseorangan yang mengatur hak dan kewajiban orang perseorangan yang satu terhadap yang lain di dalam hubungan kekeluargaan dan di dalam pergaulan masyarakat” (S. Mertokusumo, 1986: 108). Sementara itu menurut Sri Soedewi Masjhoen Sofwan," bahwa hukum perdata adalah hukum yang mengatur kepentingan antara warga negara perseorangan yang satu dengan warga negara perseorangan yang lain (Sri Soedewi, 1975: 1). Demikian juga Van Dunne memberikan pengertian hukum perdata sebagai berikut :
“hukum perdata merupakan suatu aturan yang mengatur tentang hal-hal yang sangat esensial bagi kebebasan individu seperti orang dan keluarganya, hak milik dan perikatan. Sedangkan hukum publik memberikan jaminan yang menimal bagi kehidupan pribadi” (Van Dunne, 1987:1).

Dari beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli hukum di atas, maka secara umum dapat dikelompokkan kedalam dua konsep pemahaman, dikatakan demikian karena pengertian yang dikemukakan lebih memfokuskan kepada pengaturan ketentuannya seperti apa yang dikemukakan oleh Sri Soedewi dan Van Dunne. Sebaliknya pemahaman pengertian lainnya lebih menitik beratkan kepada aspek perlindungan hukum dan ruang lingkup pembahasannya. Dikatakan demikian, karena perlindungan hukum sebagaimana dimaksudkan sangat erat berkaitan dengan perlindungan perseorangan dalam melakukan hubungan hukum dengan perseorangan yang lainnya. Selanjutnya dalam hal ruang lingkup perhatiannya juga menitik beratkan kepada adanya hubungan kekeluargaan di dalam pergaulan masyarakat.
Beranjak dari pemahaman pengertian hukum perdata di atas, dapat dikatakan bahwa pada prinsipnya hukum perdata itu adalah;

“keseluruhan aturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hubungan kepentingan orang (persoon) yang satu dengan kepentingan orang (persoon) lainnya yang terjadi karena hubungan kekeluargaan maupun akibat pergaulan dalam masyarakat. Sementara itu, orang (persoon) sebagaimana dimaksudkan adalah dalam pengertian yuridis, artinya disamping manusia sebagai subjek hukum, termasuk juga kedalam pengertian orang (persoon) tersebut adalah badan hukum walaupun hanya terbatas dalam lalu lintas hukum saja.

Hal di atas berarti, bahwa hukum perdata pada dasarnya mengatur kepentingan orang (persoon), namun tidak berarti semua hukum perdata secara murni mengatur kepentingan orang (persoon) tersebut, dikatakan demikian, karena dalam perkembangan kehidupan masyarakat banyak bidang-bidang hukum perdata yang telah diwarnai sedemikian rupa oleh hukum publik, misalnya bidang perkawinan dan perburuhan. Berkaitan dengan itu, sebenarnya hukum perdata tersebut dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, misalnya dari ruang lingkupnya dan dari sudut isinya. Di lihat dari ruang lingkupnya, maka hukum perdata ini terdiri atas :
1. Hukum perdata dalam arti luas;
Hukum perdata dalam arti luas ini termasuk kedalamnya, disamping apa yang diatur dalam hukum perdata BW juga termasuk kedalamnya adalah hal-hal yang berkaitan dengan pengaturan yang terdapat dalam hukum dagang (WvK) itu sendiri. Dikatakan demikian, hal ini disebabkan keadaan yang ditimbulkan dalam perdagangan yang diatur dalam hukum dagang (Wv) tidak bisa dilepaskan dari adanya perbuatan keperdataan itu sendiri, seperti; jual beli, asuransi, pengangkutan dan sebagainya. Sedangkan pemisahan pengaturan antara hukum perdata BW dengan hukum dagang (WvK) hanya soal latar belakang sejarah pembuatannya, karena antara hukum perdata BW dan hukum dagang (WvK) itu sendiri pada dasarnya adalah suatu hal yang tidak bisa dipisahkan.

2. Hukum perdata dalam arti sempit
Membicarakan hukum perdata dalam arti sempit, dalam hal ini pembahasannya lebih terfokus dengan apa yang diatur dalam hukum perdata BW itu sendiri dan peraturan lainnya yang berkaitan dengan masalah keperdataan.

2. Kuliah kedua (K.2)
Pada pertemuan kedua ini dibahas tentang :
a. sejarah terbentuknya Hukum Perdata BW;
b. Kedudukan BW/KUHPerdata sebagai undang-undang setelah Indonesia merdeka
c. Hukum Perdata dan Pemberlakuannya di Indonesia

Ad. 2. a. Sejarah terbentuknya Hukum Perdata BW;
Berkaitan dengan sejarah terbentuknya hukum perdataBW, dalam hal ini tidak bisa dipisahkan dengan sejarah terbentuknya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda. Sebaliknya sejarah terbentuknya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda juga tidak bisa dipisahkan dengan sejarah terbentuknya Code Civil Perancis" (R.Syahrani, 1992 : 12). Perjalanan sejarah dari terbentuknya BW ini, berawal dari 50 tahun sebelum Masehi, yakni saat Julius Caesar berkuasa di Eropa Barat, hukum Romawi telah berlaku di Perancis yang berdampingan dengan hukum Perancis Kuno yang berasal dari hukum Germania yang saling mempengaruhi.
Suatu ketika wilayah negeri Perancis terbelah menjadi dua daerah hukum yang berbeda. Bagian Utara adalah daerah hukum yang tidak tertulis (pays de droit coutumier), sedangkan daerah selatan merupakan daerah hukum yang tertulis (pays de droit ecrit). Di Utara berlaku hukum kebiasaan Perancis Kuno yang berasal dari hukum Germania sebelum resepsi hukum Romawi. sedangkan di Daerah Selatan berlaku hukum Romawi yang tertuang dalam Corpus Iuris Civilis pada pertengahan abad ke VI Masehi dari Justianus. Corpus Iuris Civilis pada zaman itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna, terdiri dari 4 bagian, yaitu (1) Codex Justiniani, (2) Pandecta, (Institutiones, dan (4) Novelles Codex Justianni berisi kumpulan undang-undang (leges lex) yang telah dibukukan oleh para ahli hukum atas perintah Kaisar Romawi yang dianggap sebagai himpunan segala macam undang-undang. Pandecta memuat kumpulan pendapat para ahli hukum Romawi yang termashur misalnya Gaius, Papinianus, Palus, Ulpianus, Modestinus dan sebagainya. Institutiones memuat tentang pengertian lembaga-lembaga hukum Romawi dan Novelles adalah kumpulan undang-undang yang dikeluarkan sesudah codex selesai. Hanya mengenai perkawinan di seluruh negeri Perancis berlaku Codex Iuris Canonici (hukum yang ditetapkan oleh Gereja Katolik Roma). Berabad-abad lamanya keadaan ini berlangsung terus dengan tidak ada kesatuan hukum.
Pada bagian kedua abad XVII di negeri Perancis telah timbul aliran-aliran yang ingin menciptakan kodifikasi hukum yang akan berlaku di negeri itu agar diperoleh kesatuan hukum Perancis. Pada akhir abad XVII, oleh Raja Perancis dibuat beberapa peraturan perundang-undangan (seperti ordonnance Sur les Donations yang mengatur mengenai soal-soal pemberian, ordonnance Sur les Tertament yang mengatur mengenai soal-soal testamen, ordonannce Sur les Substitutions fideicommissaires yang mengatur mengenai soal-soal substitusi. Kodifikasi hukum Perdata di Perancis baru berhasil diciptakan sesudah Revolusi Perancis (1789-1795), dimana pada tanggal 12 Agustus 1800 oleh Napoleon dibentuk suatu panitia yang diserahi tugas membuat kodifikasi, yang menjadi sumbernya adalah :
a. Hukum Romawi yang digali dari hasil karya-karya para sarjana bangsa Perancis yang kenamaan (Dumolin, Domat dan Pothier);
b. Hukum Kebiasaan Perancis, lebih-lebih hukum kebiasaan dari Paris;
c. Ordonnance-Ordonnance;
d. Hukum Intermediare yakni hukum yang ditetapkan di Perancis sejak permulaan Revolusi Perancis hingga Code Civil terbentuk.
Kodifikasi hukum perdata Perancis, sebagaimana dimaksudkan harus selesai dibentuk tahun 1804 dengan nama Code Civil des Francais. Code Civil Prancis ini mulai berlaku sejak tanggal 21 Maret 1804. Setelah diadakan perubahan sedikit disana-sini, pada tahun 1807 diundangkan dengan nama Code Napolion, tapi kemudian disebut dengan Code Civil Perancis. Sejak tahun 1811 sampai tahun 1838 Code Civil Perancis ini setelah disesuaikan dengan keadaan di negeri Belanda berlaku sebagai kitab undang-undang yang resmi di negeri Belanda, karena negeri Belanda berada di bawah jajahan Perancis. Di negeri Belanda setelah berakhir pendudukan Perancis tahun 1813, maka berdasarkan Undang-Undang Dasar (Grond Wet) negeri Belanda tahun 1814 (pasal 100) dibentuk suatu panitia yang bertugas membuat rencana kodifikasi hukum perdata. Panitia ini diketuai Mr. J.M. Kemper.
Tahun 1816 oleh Kemper disampaikan kepda Raja suatu rancangan kodifikasi hukum perdata tapi rancangan ini tidak diterima oleh para ahli hukum bangsa Belgia (pada waktu itu negeri Belanda dan negeri Belgia merupakan suatu negera) karena rencana tersebut disusn Kemper berdasarkan hukum Belanda kuno. Sedangkan para ahli hukum bangsa Belgia menghendaki agar rancangan itu disusun menurut Code Civil Perancis. Setelah mendapat sedikit perobahan, maka rancangan itu disampaikan kepada Perwakilan Rakyat Belanda (Tweede Kamer) pada tanggal 22 Nopember 1820. Rencana ini terkenal dengan nama
"ontwerp Kemper" (Rencana Kemper). Dalam perdebatan di Perwakilan Rakyat Belanda, rencana Kemper ini mendapat tantangan yang hebat dari anggota-anggota bangsa Belgia (wakil-wakil Nederland Selatan) yang dipimpin oleh Ketua Pengadilan Tinggi di Kota Luik (Belgia) yang bernama Nicolai.
Dalam tahun 1822 rencana Kemper itu ditolak oleh Perwakilan Rakyat Belanda. Setelah Kemper meninggal dunia tahun 1824, pembuatan kodifikasi dipimpin oleh Nicolai dengan suatu metode kerja yang baru yaitu dengan menyusun daftar pertanyaan tentang hukum yang berlaku yang akan dinilai parlemen. Setelah diketahui kehendak mayoritas, panitia lalu menyusun rencana-rencana dan mengajukannya ke parlemen (Perwakilan Rakyat) untuk diputuskan. Demikianlah cara kerja yang dilakukaan semenjak tahun 1822 sampai 1826 bagian demi bagian Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda diselesaikan dan setiap bagian dimuat tersendiri dalam Staatsblad, tetapi tanggal mulai berlakunya tentu saja ditangguhkan sampai seluruhnya selesai. Dalam tahun 1829 pekerjaan itu selesai dan diakhiri dengan baik. Undang-undang yang tadinya terpisah dihimpun dalam satu kitab undang-undang dan diberi nomor urut lalu diterbutkan. Berlakunya ditetapkan tanggal 1 Februari 1931. Pada waktu yang sama dinyatakan pula berlaku Wetboek van Koophandel (WvK), Burgelijke Rechtsvordering ( BRv). Sedangkan Wetboek van Strafrecht (WvS) menyusul kemudian.
Berdasarkan azas konkordansi maka peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negeri Belanda diberlakukan juga buat orang-orang golongan Eropah di Hindia Belanda. Untuk itu, dengan firman Raja Belanda tanggal 15 Agustus 1839 No. 102 dibentuk suatu komisi dengan tugas membuat rencana peraturan-peraturan untuk memberlakukan peraturan itu sekiranya dipandang perlu. Komisi itu terdiri dari Mr.C.J Scholten, Mr. I Scheiner dan Mr. I.F.H van Nos. Setelah 6 tahun bekerja komisi tersebut dibubarkan (dengan Firman Raja tanggal 15 Desember 1845 No. 68) berhubung dengan permintaan berhentinya Mr. Scholten van Out Haaslem oleh karena selalu terganggu kesehatannya. Kemudian dengan Firman Raja tanggal 15 Desember 1845 timbangan Negara Jhr. Mr. H.I Wichers diutus ke Hindia Belanda untuk memangku jabatan Ketua Mahkamah Agung dan Mahkamah Agung Tentara sebelum berangkat dia diwajibkan bersama-sama Mr. Scholten van Out Haarlem untuk menyiapakan rencana peralatan hukum buat Hindia Belanda yang masih belum selesai dikerjakan. Rencana peraturan yang telah dihasilkan adalah :
1. Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Nederlandsch Indie (Ketentuan umum perundang-undangan di Indonesia);
2. Burgelijk Wetboek (Kitab Undang-undang Hukum Perdata);
3. Wetboek van Koophandel ( K.U.H. Dagang ).
4. Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie (RO = Peraturan susunan pengadilan dan pengurusan justisi);
5. Enige Bepalingen betreffende Misdrijven begaan tergelegenheid van Faillissement en bij Kennelijk Overmogen, mitsgader bij Surseance van Betaling (Beberapa ketentuan mengenai kejahatan yang dilakukan dalam keadaan pailit dan dalam keadaan nyata tidak mampu membayar)
Sebagai hasil kerja Mr. Wicher dan Mr. Scholten van Out Haarlem maka dikeluarkan Firman Raja tanggal 16 Mei 1846 No. 1, dan beberapa hari kemudian berangkatlah Mr. Wicher ke Hindia Belanda membawa kitab-kitab hukum yang telah selesai dikerjakannya serta telah ditandatangani oleh Raja untuk diberlakukan di Hindia Belanda. Firman Raja Belanda tanggal 16 Mei 1846 No. 1 itu semuanya terdiri dari 9 pasal dan isinya diumumkan seluruhnya di Hindia Belanda dengan Stb. 1847 no. 23. Dalam pasal 1 nya antara lain dinyatakan bahwa peraturan-peraturan hukum yang dibuat untuk Hindia Belanda adalah : (1) Ketentuan umum perundang-undangan di Indonesia, (2) Kitab undang-undang hukum perdata, (3) Kitab undang-undang hukum dagang. (4) Peraturan susunan pengadilan dan pengurusan justisi, dan (5) Beberapa ketentuan mengenai kejahatan yang dilakukan dalam keadaan pailit dan dalam keadaan nyata tidak mampu membayar. Kemudian dalam pasal 2 Firman Raja itu ditentukan, bahwa Gubernur Jenderal Hindia Belanda akan mengatur tindakan-tindakan yang diperlukan untuk mengumumkan peraturan-peraturan tersebut di atas di dalam bentuk yang lazim digunakan di Hindia Belanda, sebelum atau pada tanggal 18 Mei 1847 serta untuk memberlakukannya sebelum atau pada tanggal 1 Januari 1848.
Dalam sejarah tercatat, perjalanan kapal yang membawa kitab-kitab hukum itu ternyata terlambat tiba di Indonesia, sehingga menimbulkan terhambatnya segala persiapan untuk memberlakukan perundang-undangan yang baru itu. Maka oleh karena itu dengan Firman Raja tanggal 10 Pebruari 1847 Nomor 60 diberikan kuasa kepada Gubernur Hindia Belanda untuk mengundurkan penetapan saat berlakunya peraturan-peraturan hukum tersebut. Persiapan memberlakukan peraturan-peraturan hukum tersebut dikerjakan oleh Mr. Wichers yang di Hindia Belanda menjabat sebagai anggota Raad van State Belanda yang diperbantukan pada Gubernur Jenderal. Tugas Gubernur Jenderal adalah memberlakukan peraturan-peraturan hukum tersebut (pasal 2 Firman Raja tanggal 16 Mei 1846 no. 1). Dalam hubungan ini Mr. Wichers telah membuat beberapa rancangan peraturan antara lain "Reglement op de Uitoefening van de Politie, de Burgerlijke Rechtspleging en de Strafvordering onder de Indonesiers (golongan hukum Indonesia asli) en de Vreemde Oosterlingen (golongan hukum Timur Asing) op Java en Madoera" (Stb. 1848 No. 16 jo 57) yang sekrang sebagai Reglemen Indonesia Baru (RIB).
Akhirnya dengan suatu peraturan penjalan (invoeringsverordening) yang bernama "Bepalingen omtrent de Invoering van en de Overgang tot de Niewe Wetgeving (Stb. 1848 No. 10) yang disingkat dengan "Overgangsbepalingen" (peraturan peralihan) yang juga disusun oleh Mr. Wichers, maka kodifikasi hukum perdata (Burgerlijk Wetboek) menjadi berlaku di Hindia Belanda tanggal 1 Mei Tahun 1848. Pasal 1 Overgangbapalingen itu menyatakan bahwa, "pada waktu kodifikasi hukum tersebut mulai berlaku, maka hukum Belanda Kuno, hukum Romawi dan semua statuta aturan yang baru itu". Dalam pada itu menurut pasal 2 nya, hal tersebut tidak mengenai hukum pidana.
Berdasarkan fakta-fakta sejarah tentang terbentuknya Code Civil Perancis, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Belanda dan Burgelijk Wetboek yang diungkapkan di atas ini, maka jelaslah bahwa Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek) yang sekarang masih berlaku di Indonesia adalah Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang telah menyerap atau mengambil alih secara tidak langsung asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang berasal dari hukum Romawi, hukum Perancis kuno, Belanda kuno dan sudah tentu pula hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dimana dan dimasa kodifikasi tersebut diciptakan yakni pada waktu ratusan tahun yang silam.

Ad.2..b. Kedudukan KUHPerdata sebagai undang-undang setelah Indonesia merdeka
Era globalisasi yang melanda dunia pada dekade terakhir, berpengaruh terhadap Indonesia yang tidak henti-hentinya dilanda berbagai krisis, baik ekonomi, politik, HAM, keamanan negara dan sebagainya, tanpa kompromi, Indonesia sebagai Negara besar harus tetap eksis memperhatikan perkembangan pergaulannya dengan bangsa lain dimuka bumi ini, karena Indonesia sendiri adalah salah satu komponen penghuninya yang harus tetap berhubungan dengan negara dan bangsa lain. Dalam pada itu, sebagai akibat adanya kemungkinan timbulnya pengaruh secara timbal balik arus era globalisasi dan informasi dimaksud, maka salah satunya adalah mempersiapkan keberadaan hukum Perdata Nasional yang mempunyai ciri khusus dan sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia sendiri, namun mampu menjawab tantangan kedepan dalam menghadapi persaingan yang semakin kompetitif dengan bangsa-bangsa lainnya, khusus dengan masuknya unsur-unsur asing (foreign element) yang telah melintasi batas negara sendiri, sehingga mau tidak mau dan sangat mendesak adalah keberadaan hukum perdata nasional dimaksud.
Berkaitan dengan itu, sebenarnya sejak jauh hari salah seorang pakar hukum yang sangat disegani dan dihormati oleh kalangan ilmuan hukum, beliau adalah Prof. Dr. Mr. R. Soepomo, pernah mengemukakan dan mengingatkan dalam pidato Dies Natalis Universitas Gajah Mada Yogyakarta pada tanggal 17 Agustus 1947; “bahwa hukum dalam masyarakat itu dipengaruhi oleh perkembangan masyarakat itu sendiri, maka Hukum Perdata Nasional nantinya harus pula dapat menyesuaikan dirinya dengan cita-cita Nasional menurut aspirasi Bangsa Indonesia”. Karena itu dalam menanggapi perkembangan hukum perdata dewasa ini perlu diarahkan kepada arus pembawaan jiwa dan kebudaayan Nasional menuju kepada penemuan Hukum Perdata Nasional yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan tindak-tindak perdata, baik yang bersifat dan beraliran barat maupun yang bersendi kepada norma-norma kebuyaan timur” (A.Ichsan, 1969 : 5)

Beranjak dari pendapat ahli hukum tersebut, hal ini dapat diartikan bahwa “adanya harapan agar para penerus bangsa ini untuk lebih memperhatikan kehidupan bangsanya disamping tetap memperhatikan pergaulan dengan bangsa lainnya. Dikatakan demikian, karena berbagai produk peraturan-peraturan peninggalan penjajahan Belanda, baik itu Burgerlijk WetBoek (BW) selanjutnya disebut KUHPerdata, WetBoek Van Koophandel (WvK) selanjutnya disebut dengan KUHDagang, dapat dikatakan telah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, walaupun sebenarnya telah ada berbagai produk peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh negara, seperti Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, Undang-undang Pokok Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Undang-undang Perseroan Terbatas No. 1 Tahun 1995, Undang-udang Hak Tanggungan Atas Tanah dan benda-benda yang ada di atas Tanah No. 4 Tahun 1996, Undang-undang Jaminan Fiducia No. 42 Tahun 1999, Undang-undang Yayasan No. 16 Tahun 2001, Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 dan lain-lain.
Adanya ketentuan-ketentuan di atas dan peraturan lainnya sangat berpengaruh terhadap keutuhan ketentuan peninggalan penjajahan dan oleh karenanya keadaan itu janganlah membuat bangsa ini tertidur dan dinina bobokkan dengan adanya Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945 yang dibuat tanpa batas yang jelas dan tegas tentang saat kapan berakhirnya. Mencerermati keadaan tersebut wajarlah bahwa Sahardjo, S.H., waktu menjadi Menteri Kehakiman RI pada Tahun 1962 memunculkan suatu gagasan yang diajukan dalam rapat Badan Perancang Hukum Nasional (BPHN) menyarankan bahwa: “khusus KUHPerdata tidak lagi sebagai undang-undang, melainkan sebagai dokumen saja yang hanya menggambarkan suatu kelompok hukum yang tidak tertulis” (Z.A. Ahmad, 1986 : 47). Selanjutnya gagasan Sahardjo, S.H. tersebut dikemukakan lagi dalam Kongres Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (MIPI) di Yogyakarta Tahun 1962 melalui prasaran Mr. Wirjono Prodjodikoro dengan judul; “Keadaan Transisi dari Hukum Perdata Barat”, di mana isi prasaran tersebut mengemukakan hal-hal sebagai berikuit :
Peraturan dari zaman Belanda yang sekarang masih berlaku dan belum dicabut, sudah tidak sesuai lagi dengan kepentingan masyarakat Indonesia saat ini;
Mempertanyakan; “apakah BW harus menunggu dicabut dulu, untuk memberhentikan berlakunya sebagai Undang-undang di Indonesia”;
Gagasan Sahardjo, S.H., untuk menganggap BW tidak lagi sebagai Undang-undang tetapi hanya sebagai dokumen yang berisi hukum tidak tertulis saja, adalah sangat menarik. Artinya dengan menganggapnya sebagai dokumen, para hakim akan lebih leluasa untuk mengenyampingkan pasal-pasal BW yang tidak sesuai lagi dengan kepentingan Nasional;
Karena BW hanya tinggal sebagai pedoman saja, maka demi kepentingan hukum dia perlu secara tegas dicabut. Pencabutannya tidak perlu dengan suatu Undang-undang, tetapi cukup dengan suatu pernyataan saja dari Pemerintah atau Mahkamah Agung (Z.A. Ahmad, 1986 : 47).

Kelanjutan gagasan Sahardjo, S.H., dibawa pada Kongres MIPI mendapat tanggapan positif dari Mr. Wirjono Prodjodikoro yang waktu itu sebagai Ketua Mahkamah Agung RI yang mengeluarkan Surat Edaran No. 3 Tahun 1963 yang berisi gagasan; “untuk menganggap BW tidak lagi sebagai Undang-undang, konsekuensi gagasan ini adalah dengan mencabut berlakunya sebanyak delapan pasal dari BW tersebut”. Dasar pertimbangan keluarnya SEMA berawal dari prasaran dalam Kongres MIPI Tahun 1962, hadirin yang umumnya menyetujuinya dan demikian juga halnya yang tidak ikut kongres juga menerimanya. Tetapi kemudian dalam kenyataannya harus diakui banyak juga dari mereka yang tidak hadir yang menentang gagasan Sahardjo, S.H. dan keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 tersebut, diantaranya adalah; Prof. Mr. Mahadi dan demikian juga Prof. Subekti, S.H., sebagai pengganti Prof. Mr. Wirjono Prodjodikoro sebagai ketua Mahkamah Agung pada waktu itu. Ketidak setujuan Prof. Subekti dikemukakannya di depan Seminar Hukum Nsional II di Semarang pada Tahun 1968 dan pada saat ceramah dihadapan dosen hukum dagang saat mengikuti “Post Graduate Course” di Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta Tahun 1975. Menurut Subekti, bahwa :
“baik gagasan seorang Menteri Kehakiman maupun Surat Edaran mahkamah Agung, bukanlah merupakan sesuatu sumber hukum formal, paling-paling dia hanya dapat dianggap sebagai suatu anjuran pada para hakim untuk jangan takut-takut menyingkirkan pasal-pasal dari BW yang dirasakan sudah tidak sesuai lagi dan membikin yurisprudensi, sebab hanya yurisprudensilah yang dapat menyingkirkan pasal-pasal dari BW itu, seperti; Pasal 108 BW, Arrest 31 Januari 1919 yang memperluas pengertian Pasal 1365 BW, Arrest Bierbrouwerij Oktober 1925 yang menyingkirkan Pasal 1152 BW yang mengharuskan penyerahan barang yang digadaikan, tetap dalam kekuasaan orang yang menggadaikan”. (Z.A. Ahmad, 1986 : 51).

Melihat uraian di atas, dapat dikatakan bahwa keberadaan KUHPerdata sebagai ketentuan undang-undang hingga saat ini masih terus diperdebatkan, artinya usulan-usulan yang menganggap dia hanya sebagai dokumen hukum saja tetap menjadi perdebatan diantara kalangan ahli hukum, tetapi setidak-tidaknya ide itu perlu terus dipikirkan dan dipertimbangkan, terutama baik kalangan ahli hukum, peraktisi hukum dan para pihak yang mempunyai kewenangan dalam pengambilan keputusan, untuk terus menggali dan mencermati berlakunya ketentuan peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa, dan tidak terpaku dengan Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945 yang tidak membuat batasan yang jelas dan tegas tentang limit waktu berakhirnya ketentuan peninggalan penjajahan tersebut. Ditambah lagi ketentuan-ketentuan peninggalan penjajahan sudah berusia cukup lama, di mana di negeri Belanda sendiri sebenarnya sudah sejak lama tidak diberlakukan lagi. Maka sudah sewajarnyalah bangsa ini memikirkan tentang bagaimana ketentuan-ketentuan yang berkaitan peraturan-peraturan peninggalan penjajahan tersebut diganti dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi dengan jalan terus berupaya membuat dan memberlakukan ketentuan baru yang sesuai dengan keadaan bangsa dan kemajuan zaman, karena ketentuan-ketentuan yang bersifat keperdataan dalam perkembangannya dan penerapannya dapat saja dipengaruhi oleh berbagai aspek hukum lainnya, seperti; aspek hukum pidana, administrasi maupun ketentuan hukum Internasional sebagai akibat pengaruh global dan hubungan antar warga yang berlainan kewarganegaraannya.
Dalam pada itu, tentang bagaimana kedudukan Hukum Perdata BW khususnya KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek) sebagaimana dimaksudkan di atas, Saleh Adiwinata, mengemukakan "Persoalan ini pertama kali dilontarkan oleh Menteri Kehakiman RI tahun 1962 pada salah satu Rapat Kerja Badan Perancang Lembaga Pembinaan Hukum Nasional bulan Mei tahun 1962" (S. Adiwinata, 1983; 26). Menurut Saleh, dalam hal mana; "Menteri Kehakiman, pada waktu itu Sahardjo, SH, melontarkan suatu problema hukum : "Apakah BW sebagai kodifikasi tidak telah habis masa berlakunya pada saat kita memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 ?". Sahardjo berpendapat bahwa BW tidak lagi sebagai suatu undang-undang melainkan sebagai suatu dokumen yang hanya menggambarkan suatu kelompok hukum yang tidak tertulis. Dengan kata lain BW bukan lagi sebagai Wetboek tetapi Rechtsboek yang hanya dipakai suatu pedoman" (S. Adiwinata, 1983; 26).
Menanggapi persoalan yang dikemukakan Menteri Kehakiman Sahardjo tersebut dalam pada itu Mahadi berpendapat sebagai berikut:
1. BW sebagai kodifikasi sudah tidak berlaku lagi.
2. Yang masih berlaku ialah aturan-aturannya, yang tidak bertentangan dengan semangat serta suasana kemerdekaan.
3. Diserahkan kepada yurisprudensi dan doktrina untuk menetapkan aturan mana yang masih berlaku dan aturan mana yang tidak bisa dipakai lagi.
4. Tidak setuju diambil suatu tindakan legislatif untuk menyatakan bahwa aturan-aturan BW dicabut sebagai aturan-aturan tertulis. Tegasnya, tidak setuju, untuk menjadikan aturan-aturan BW yang masih bisa berlaku menjadi hukum kebiasaan (hukum adat), sebab :
Kelompok-kelompok hukum, yang sekarang di atur dalam BW, akan menjelma nanti di dalam hukum nasional kita juga dalam bentuk tertulis. Setapak kearah itu telah kita lakukan yaitu sebahagian dari Buku II telah diatur secara lain di dalam Undang-undang Pokok Agraria. Hukum Perjanjian (Buku III) sedang dalam perencanaan Hukum Acara Perdata, yang melingkupi sebahagian dari Buku IV sedang dirancangkan. Dan sebagainya. Jadi, tidak logis kalau yang tertulis sekarang itu dijadikan tidak tertulis, untuk kemudian dijadikan tertulis kembali (meskipun dengan perubahan-perubahan).
Dengan berlakunya aturan-aturan BW sebagai hukum adat, tidak hilang segi diskriminatifnya. Mungkin hilang segi intergentilnya, tapi masih tetap ada segi "interlokalnya".
Dengan memperlakukan BW sebagai hukum adat, tidak ada lagi alasan untuk mempertahankan peraturan-peraturan tentang Burgerlijke Stand sebagai aturan-aturan tertulis. Peraturan-peraturan tentang Burgerlike Stand sebagai aturan-aturan tertulis. Peraturan-peraturan tentang Burgerlike Stand nyata-nyata bersifat diskriminatif, sebab pada umumnya tidak ada Burgerlijke Stand untuk sebagain besar dari warga negara Indonesia.
Kedudukan BW rasanya harus kita tilik bergandengan dengan kedudukan KUH Dagang. Dapatkah kita membuat pernyataan bahwa aturan-aturannya berlaku sebagai hukum adat ?, Apakah tidak ada segi-segi internasionalnya, bandingkan dengan wesel.
Menjadikan aturan-aturan BW sebagai hukum adat mempunyai akibat psikologis terhadap alam pemikiran hakim madya, yaitu para hakim muda lepasan SMKA dan para hakim bekas-bekas pegawai administratif yang tidak sedikit jumlahnya itu. Sekarang mereka mempunyai perpegangan, pernama norma hukum tertulis dan kedua yurisprudensi. Jika aturan-aturan BW dijadikan hukum adat, maka hanya tinggal satu pegangan ini, kata Mahadi, tidak membawa akibat baik kepada mutu keputusan-keputusan hakim yang bersangkutan.(S. Adiwinata, 1983; 34-35).
Mahadi akhirnya mengusulkan agar persoalan ini diserahkan kepada Mahkamah Agung melalui yurisprudensinya serta melalui jalan lain di dalam rangka peradilan terpimpin, dibantu oleh para pengarang di dalam majalah hukum, untuk menjelaskan aturan-aturan mana dari BW itu yang dapat dipandang sebagai tidak berlaku lagi. Kemudian gagasan Sahardjo yang menganggap BW bukan lagi sebagai Wetboek tetapi Rechtsboek ini dibawa ke dalam Kongres Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (MIPI-sekarang LIPI) II yang diadakan di Yogyakarta pada bulan Oktober 1962, yang dikemukakan Wirjono Prodjodikoro, dalam prasarannya yang berjudul "Keadaan Transisi dari Hukum Perdata Barat", di mana dalam prasarannya itu dikemukakan pemikiran :
1. Mengingat kenyataan bahwa BW oleh penjajah Belanda dengan sengaja disusun sebagai tiruan belaka dari BW di negeri Belanda dan untuk pertama-tama diperlakukan buat orang-orang Belanda di Indonesia, yang sudah merdeka lepas dari belenggu penjajahan Belanda itu, masih pada tempatnyakah untuk memandang BW tersebut sejajar dengan suatu Undang-undang yang secara resmi berlaku di Indonesia ?. Dengan kata lain apakah BW yang bersifat kolonial masih pantas secara resmi dicabut dulu untuk menghentikan berlakunya di Indonesia sebagai undang-undang?;
2. Gagasan Menteri Kehakiman Sahardjo, dalam sidang Badan Perancang Lembaga Pembinaan Hukum Nasional pada bulan Mei 1962 yang menganggap BW tidak lagi sebagai suatu undang-undang, melainkan hanya sebagai suatu dokumen yang hanya menggambarkan suatu kelompok hukum tidak tertulis, sangat menarik hati, oleh karena dengan demikian para penguasa terutama para hakim lebih leluasa untuk mengesampingkan beberapa Pasal dari BW yang tidak sesuai dengan Indonesia;
3. Namun oleh karena dalam gagasan tersebut, BW masih tetap sebagai pedoman yang harus diperhatikan seperlunya oleh para pengusa, maka untuk kepastian hukum masih sangat perlu diusahakan sekuat tenaga, agar dalam waktu yang tidak terlalu lama, BW sebagai pedomanpun harus dihilangkan sama sekali dari Bumi Indonesia secara tegas, yaitu dengan suatu pencabutan, tidak dengan undang-undang, melainkan dengan suatu pernyataan Pemerintah atau dari Mahkamah Agung.(Wirjono.P, 1979 : 7-11)
Gagasan tentang kedudukan hukum BW yang dikemukakan Wirjono dalam Kongres Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia tersebut, mendapatkan sambutan dan persetujuan, di mana Mahkamah Agung menyetujuinya dan sebagai konsekuensinya, Mahkamah Agung kemudian mengeluarkan Surat Edaran No. 3 Tahun 1963 tanggal 5 September 1963 yang disebarluaskan kepada semua PN dan PT di seluruh Indonesia. Surat Edaran Mahkamah Agung No.3 Tahun 1963 tentang "gagasan menganggap Burgerlijk Wetboek tidak sebagai undang-undang". Sebagai konsekwensi dari gagasan tersebut, kemudian Mahkamah Agung menganggap tidak berlaku lagi antara lain pasal-pasal berikut dari Burgerlijk Wetboek :
Pasal-pasal 108 dan 110 BW tentang wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum untuk menghadap di muka pengadilan tanpa izin dan bantuan suami.
1. Pasal 284 ayat (3) BW mengenai pengakuan anak yang lahir di luar perkawinan oleh seorang perempuan Indonesia asli. Dengan demikian, pengakuan anak itu tidak lagi berakibat terputusnya perhubungan hukum antara Ibu dan Anak, sehingga juga tentang hal ini tidak ada lagi perbedaan diantara semua warga negara Indonesia.
2. Pasal 1682 BW yang mengharuskan dilakukannya suatu perhibahan dengan akta Notaris.
3. Pasal 1579 BW yang menentukan bahwa dalam hal sewa menyewa barang si pemilik barang tidak dapat menghentikan persewaan dengan mengatakan, bahwa ia akan memakai sendiri barangnya, kecuali apabila pada waktu membentuk persetujuan sewa menyewa ini dijanjikan diperbolehkan.
4. Pasal 1283 BW yang menyimpulkan bahwa pelaksanaan suatu perjanjian hanya dapat diminta di muka hakim, apabila gugatan ini didahului dengan penagihan tertulis.
Mahkamah Agung sudah pernah memutuskan antara dua orang Tionghoa bahwa pengiriman turunan surat gugat kepada tergugat dapat dianggap sebagai penagihan, oleh karena sitergugat masih dapat menghindarkan terkabulnya gugatan dengan membayar hutangnya sebelum hari sidang pengadilan.
5. Pasal 1460 BW tentang resiko seorang pembeli barang, pasal mana menentukan, bahwa suatu barang tertentu yang sudah dijanjikan dijual, sejak saat itu adalah tanggung jawab pembeli, meskipun penyerahan barang itu belum dilakukakan. Dengan tidak lagi berlakunya pasal ini, maka harus ditinjau dari tiap-tiap keadaan, apakah tidak sepantasnya pertanggungan jawab atau resiko atas musnahnya barang yang sudah dijanjikan dijual tetapi belum diserahkan harus dibagi antara kedua belah pihak, dan kalau ya, sampai kapan saatnya.
6. Pasal 1603 x ayat (1) dan ayat (2) BW yang mengadakan diskriminasi antara orang Eropah disatu pihak dan bukan orang Eropah di lain pihak mengenai perjanjian perburuhan.

Ad.2. c. Hukum Perdata dan Pemberlakuannya di Indonesia
Hukum perdata di Indonesia sampai saat ini masih beraneka ragam (pluralistis), dimana masing-masing golongan penduduk mempunyai hukum perdata sendiri, kecuali bidang-bidang tertentu yang sudah ada unifikasi. Keanekaragaman hukum perdata di Indonesia ini sebenarnya sudah berlangsung lama, bahkan sejak kedatangan orang Belanda di Indonesia pada tahun 1596. Keaneka ragaman hukum ini berawal pada ketentuan dalam pasal 163 IS (Indische Staatsregeling) yang membagi penduduk Hindia Belanda berdasarkan atas tiga golongan yaitu :
1. Golongan Eropah, ialah (a) semua orang Belanda, (b) semua orang Eropah lainnya, (c) semua orang Jepang, (d) semua orang yang berasal dari tempat lain yang dinegaranya tunduk kepada hukum keluarga yang pada pokoknya berdasarkan atas yang sama seperti hukum Belanda, dan (e) anak sah atau diakui menurut undang-undang, dan anak yang dimaksud sub b dan c yang lahir di Hindia Belanda;
2. Golongan Bumiputera, ialah semua orang yang termasuk rakyat Indonesia Asli, yang tidak beralih masuk golongan lain dan mereka yang semua termasuk golongan lain yang telah membaurkan dirinya dengan rakyat Indonesia;Golongan Timur Asing, ialah semua orang yang bukan golongan Eropah dan golongan Bumiputera
3. Selanjutnya dalam pasal 131 IS dinyatakan bahwa "bagi golongan Eropah berlaku hukum di negeri Belanda (yaitu hukum Eropah atau hukum Barat) dan bagi golongan-golongan lainnya (Bumiputera dan Timur Asing) berlaku hukum adat masing-masing". Kemudian apabila kepentingan umum serta kepentingan sosial mereka menghendakinya, maka hukum untuk golongan Eropah dapat dinyatakan berlaku bagi mereka, baik seutuhnya maupun dengan perubahan-perubahan, dan juga diperbolehkan membuat suatu peraturan baru bersama.
Berdasar ketentuan Pasal 131 IS di atas, maka kodifikasi hukum perdata hanya berlaku bagi golongan Eropah dan mereka yang dipersamakan. Sementara itu bagi golongan Bumiputera dan timur asing berlaku hukum adat mereka masing-masing kecuali sejak tahun 1855 hukum perdata Eropah diperlakukan terhadap golongan timur asing selain hukum keluarga dan waris. Selanjutnya ada beberapa peraturan yang khusus dibuat untuk Bumiputera seperti ; ordonansi perkawinan bangsa Indonesia yang beragama Kristen (Stb. 1933 No. 74), ordonansi tentang maskapai Andil Indonesia, disingkat dengan IMA (Stb. 1939 No. 569 jo 717 dan ordonansi tentang perkumpulan bangsa Indonesia (Stb. 1939 No. 570 jo. No. 717).
Selanjutnya orang-orang bukan Eropah dapat dengan suka rela menunjukan diri kepada hukum perdata Eropah hal ini diatur dalam Stb. 1917 No. 17 yang diberi nama dengan "Regeling Nopens de Vrijwillige Onderwerping aan het Europeesch Privatrecht" (Peraturan mengenai penundukan diri dengan suka rela kepada hukum perdata Eropah. Peraturan ini mengenal empat macam penundukan diri yaitu: penundukan diri kepada seluruh hukum perdata Eropah (pasal 1 s/d 17), penundukan diri pada perbuatan hukum tertentu (pasal 29). Mengenai pasal 29 tersebut menentukan jika seorang bangsa Indonesia Asli melakukan suatu perbuatan hukum yang tidak dikenal atau tidak diatur dalam hukumnya sendiri, maka ia dianggap secara diam-diam menundukan dirinya pada hukum perdata Eropah misalnya menandatangani aksep (surat kesanggupan untuk membayar sejumlah uang), menandatangani wesel, menandatangani perjanjian asuransi dan sebagainya.
Diadakannya lembaga penundukkan diri ini, sedikitnya banyaknya adalah untuk kepentingan orang-orang golongan Eropah sendiri. Dikatakan demikian sebab seperti dinyatakan oleh Mr. C.J Scholten ; "bahwa penundukkan sukarela akan memberi keamanan besar dan keuntungan kepada orang Eropah, sebab kalau mereka membuat perjanjian atau perikatan dengan orang-orang yang tidak tergolong ke dalam orang Eropah, dengan memperlakukan hukum Eropah atas perjanjian yang dibuatnya itu. Dengan demikian kepentingan orang Eropah dapat diamankan karena hukum Eropah merupakan hukum tertulis yang akan lebih banyak memberikan kepastian hukum dari pada hukum adat yang tidak tertulis. Lembaga penundukan diri secara sukarela tidak mungkin terjadi sebaliknya, artinya lembaga ini hanya mungkin dilakukan oleh orang Indonesia Asli dan Timur Asing terhadap hukum Perdata Eropah, dan tidak mungkin terjadi penundukan diri secara suka rela dari orang eropah atau timur asing terhadap hukum adat.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa lembaga penundukan diri kepada hukum perdata Eropah bagi golongan Timur Asing sudah hampir tidak relevan lagi dengan adanya peraturan yang termuat dalam Stb. 1855 No. 79. Sebab dengan peraturan yang termuat dalam Stb. 1855 dan Wetbooek van Koophandel) dinyatakan berlaku terhadap orang golongan timur asing, kecuali hukum keluarga dan hukum waris. Pada Tahun 1917 mulai di adakan pembedaan antara golongan Timur Asing Tionghoa dan Timur Asing bukan Tionghoa, karena untuk golongan Timur Asing Tionghoa dianggap bahwa hukum Eropah yang sudah berlaku bagi mereka dapat diperluas lagi. Peraturan tersendiri mengenai hukum perdata ini bagi mereka, termuat dalam Stb. 1917 No. 129 (yang baru berlaku untuk seluruh Indonesia sejak tanggal 1 September 1925). Menurut peraturan ini seluruh hukum perdata Eropah berlaku bagi mereka, kecuali pasal-pasal mengenai Burgerlijk Stand yang termuat dalam bagian 2 dan 3 titel 4 buku I BW, dimana bagi orang-orang Timur Asing Tionghoa diadakan Burgerlijk Stand tersendiri, serta peraturan tersendiri tentang pengangkatan anak (adopsi) pada bagian II dari Stb. 1917 No. 129 tersebut.
Dalam pada itu, bagi orang-orang golongan Timur Asing bukan Tionghoa (Arab, India, Pakistan dll), berdasarkan peraturan yang termuat dalam Stb. 1855 No. 79. Kemudian dirubah dan ditambah dengan Stb. 1924 No. 556 tanggal 9 Desember 1924 dan mulai berlaku tanggal 1 Maret 1925, hukum perdata Eropah berlaku bagi mereka, kecuali mengenai hukum keluarga dan hukum waris, dimana untuk kedua bidang hukum ini tetap berlaku hukum adat mereka sendiri. Tetapi mengenai pembuatan wasiat (testament) hukum perdata Eropah berlaku juga bagi mereka.
3. Kuliah Ketiga (K.3)
Pada pertemuan ketiga di bahas tentang :
a. Dasar Hukum Berlakunya Hukum Perdata Eropah;
b. Bidang-bidang Hukum Perdata;
c. Bagian-Bagian BW yang Tidak Berlaku Lagi;
d. Hukum Perdata Bersifat Pelengkap dan Memaksa
Ad.3. a. Dasar Hukum Berlakunya Hukum Perdata Erofah
Apabila dilihat dalam Undang-Undang Dasar 1945, Konstitusi RIS dan Undang-undang Dasar sementara 1950 terdapatnya aturan peralihan, di mana salah satu maksud diadakannya aturan peralihan tersebut adalah "untuk menjadi dasar berlakunya terus peraturan perundang-undangan yang ada pada saat Undang-Undang Dasar tersebut diberlakukan". Dengan demikian kefakuman hukum yang dapat menimbulkan ketidakpastian dan kekacauan dalam masyarakat dalam dihindari. Aturan peralihan sebagaimana dimaksudkan di atas, dalam UUD 1945 Pasal II nya menentukan : "segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama sebelum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini". Dalam pada itu Pasal IV Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 juga menetukan bahwa "sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaan dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional Pusat".
Berdasarkan Aturan Peralihan tersebut, kemudian pada tanggal 10 Oktober 1945 Presiden mengadakan dan mengumumkan Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 1945, yang bunyinya sebagai berikut : "KAMI, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, untuk ketertiban masyarakat, bersandar pada Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia pasal II berhubung dengan pasal IV menetapkan peraturan sebagai berikut" :
Pasal 1
"Segala Badan-badan Negara dan Peraturan yang ada sampai berdirinya negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar masih berlaku asal saja tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar tersebut".

Pasal 2
"Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1945". Dalam menjelaskan Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 1945 ini disebutkan bahwa, diadakan Peraturan Pemerintah tersebut adalah untuk lebih menegaskan berlakunya pasal 2 Peraturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945.

Pada waktu Indonesia dijajah oleh Jepang, sampai sebelum tanggal 17 Agustus 1945, berlaku peraturan-peraturan Pemerintah Balatentara Jepang. Dalam hal mana untuk daerah Jawa dan Madura, Pemerintah Balatentara Jepang telah mengeluarkan Undang-Undang No. 1 tahun 1942 tanggal 7 Maret 1942, dimana dalam pasal 3 dinyatakan : "Semua badan-badan Pemerintah dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari Pemerintah yang dahulu, tetap diakui sah buat sementara waktu, asal saja tidak bertentangan dengan aturan Pemerintah Meliter". Sementara itu untuk daerah-daerah di luar Jawa dan Madura ada badan-badan dan keluasaan lain Balatentara Jepang yang tindakan-tindakan dalam hal ini boleh dikatakan sama. Oleh karena itu maka dapat dikatakan bahwa pada zaman Jepangpun tetap melanjutkan berlakunya peraturan perundang-undangan dari zaman Hindia Belanda, yang sebenarnya tidak hanya mengenai hukum perdata, akan tetapi juga hukum-hukum bidang yang lain, seperti hukum pidana, hukum acara pidana, hukum acara perdata, dan sebagainya.
Berkaitan dengan uraian di atas, dapat dikatakan, bahwa dengan adanya ketentuan peralihan UUD 1945 dan Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1945 sebagaimana dikemukakan, maka segala peraturan hukum peninggalan Pemerintah Hindia Belanda dahulu (seperti IS, BW, WvK, dan sebagainya) dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Ad.3.b. Bidang-bidang Hukum Perdata
Mengenai bidang-bidang hukum perdata sebagaimana dimaksudkan di atas, Riduan Syahrani mengemukakan, bahwa dalam ilmu pengetahuan, hukum perdata dibagi dalam 4 bagian yakni :
1. Hukum perseorangan/badan pribadi (personenrecht);
2. Hukum Keluarga (familierecht);
3. Hukum harta kekayaan (vermogenrecht);
4. Hukum waris (erfrecht), (Wirjono.P, 1979 : 29).
Sementara itu bidang-bidang hukum perdata menurut undang-undang adalah sebagaimana termuat dalam BW yang terdiri dari 4 buku, antara lain:
Buku I : Tentang orang (van personen);
Buku II : Tentang benda (van zaken);
Buku III : Tentang perikatan (van verbintenissen);
Buku IV : Tentang pembuktian dan daluwarsa (van bewij en verjaring).
Hukum keluarga di dalam BW dimasukan pada buku I tentang orang. Hal ini disebabkan oleh karena hubungan-hubungan keluarga berpengaruh besar terhadap kecakapan seseorang untuk memiliki hak-hak serta kecakapannya untuk menggunakan hak-haknya itu. Hukum waris dimasukan dalam Buku II tentang benda oleh karena perwarisan adalah merupakan salah satu cara untuk memperoleh hak milik (eigendom). Sedangkan hak milik (eigendom) diatur dalam Buku II. Selain itu juga dikatan bahwa pembentuk undang-undang menganggap bahwa hak waris adalah merupakan hak kebendaan, yaitu hak kebendaan atas "boedel" dari orang yang meninggal dunia. Sedangkan pembuktian dan daluwarsa sebenarnya termasuk hukum acara perdata sehingga kurang tepat dimasukan dalam BW yang pada asasnya mengatur hukum perdara materil. Tapi rupanya ada pendapat bahwa hukum acara perdata itu dapat dibagi dalam dua bagian yaitu bagian materil dan bagian formil. Soal-soal pembuktian dan alat-alat bukti termasuk bagian materil sehingga dapat juga dimasukan dalam BW sebagai hukum acara perdata.
Ad.3.c. Bagian-Bagian BW yang Tidak Berlaku Lagi
Pada waktu sekarang BW bukan lagi sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berlaku secara menyeluruh seperti mulai diberlakukan pada tanggal 1 Mei 1848, dikatakan demikian, karena sesuai dengan amanat yang terdapat dalam Aturan Peralihan dari UUD 1945, yakni sebelum terbentuknya peraturan-peraturan yang beru maka peraturan sebelum kemerdekaan masih dapat digunakan sebagai acuan. Akan tetapi setelah kemerdekaan, Pemerintah kemudian membuat peraturan-peraturan yang sesuai dengan keadaan sekarang dan nilai-nilai luhur bangsa, sehingga berakibat peraturan peninggalan kolonial tersebut tidak berlaku lagi, demikian juga halnya dengan beberapa ketentuan dari BW tersebut.
Ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksudkan di atas, antara laian Undang-undang Nasional dilapangan perdata yang pertama sekali secara radikal menyatakan tidak berlakunya lagi beberapa ketentuan dalam BW adalah UUPA Nomor 5 tahun 1960, yang lahir tanggal 24 September 1960. Berlakunya UUPA ini, maka bagian Buku II BW mengenai benda, sepanjang mengenai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Berlakunya UUPA itu maka berlakunya pasal-pasal BW Buku II sesuai dengan Surat Departemen Agraria tanggal 26 Pebruari 1964 nomor Unda 10/3/29 dapat diperinci atas 3 macam :
a. Ada pasal-pasal yang masih berlaku penuh karena tidak mengani bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
b. Ada pasal-pasal yang menjadi tak berlaku lagi, yaitu pasal-pasal yang melulu mengatur tentang bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
c. Ada pasal-pasal yang masih berlaku tetapi tidak penuh, dalam arti bahwa ketentuan-ketentuannya tidak berlaku lagi sepanjang mengenai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan masih tetap berlaku sepanjang benda-benda lainnya. (Sri Soedewi, 1975 : 4).
Sementara itu Pasal-pasal mana dari Buku II BW yang masih berlaku penuh, pasal-pasal mana yang tidak berlaku dan pasal-pasal mana yang masih berlaku tetapi tidak penuh, Sri Soedewi Masjhoen Sofwan, dalam bukunya hukum benda memperinci secara garis besar sebagai berikut :
a. Pasal-pasal yang masih berlaku penuh ialah :
Pasal-pasal tentang benda bergerak yakni pasal 505, 509, 518 BW;
Pasal-pasal tentang penyerahan benda bergerak pasal 612, 613 BW;
Pasal-pasal tentang bewoning, ini hanya mengenai rumah pasal 826 - 827 BW;
Pasal-pasal tentang hukum waris pasal 830 - 1130 BW. Walaupun ada beberapa pasal dalam Hukum Waris yang juga mengenai tanah, tanah diwarisi menurut hukum yang berlaku bagi si pewaris;
Pasal-pasal tentang piutang yang diistimewakan (Previlegie) pasal 1130 - 1149 BW;
Pasal-pasal tentang gadai karena gadai hanya melulu mengenai benda bergerak, pasal 1150 - pasal 1160 BW;
Pasal-pasal tentang hipotik, karena hipotik meskipun mengenai tanah memang dikecualikan dari pencabutan oleh UUPA, dikurangi pasal-pasal yang tak pernah berlaku berdasarkan pasal 31 O.V (peraturan peralihan perundang-undangan) S. 1848 No.10 setelah berlakunya UUPA ketentuan-ketentuan mengenai segi formil/acara dari hipotik yaitu mengenai pembebanan / pemberian hipotik dan pendaftaran hipotik, mengenai hal tersebut harus tunduk pada ketentuan-ketentuan yang ada dalam UUPA, PP No. 10 tahun 1961, PMA 15 tahun 1961 beserta peraturan-peraturan pelaksana lainnya, namun setelah keluarnya undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah dan Benda-benda yang ada di atas Tanah dan PP No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, maka ketentuan Hipotik atas Tanah sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 57 UUPA No. 5 Tahun 1960, dinyatakan tidak berlaku lagi.
b. Pasal-pasal yang tidak berlaku lagi ialah :
Pasal-pasal tentang benda tak bergerak yang melulu berhubungan dengan hak-hak mengenai tanah;
Pasal-pasal tentang cara memperoleh hak milik melulu mengenai tanah;
Pasal-pasal mengenai penyerahan benda-benda tak beregerak, tidak pernah berlaku;
Pasal-pasal tentang kerja Rodipasal 673 BW;
Pasal tentang hak dan kewajiban pemilik pekarangan bertentangan P 625 - 672 BW;
Pasal-pasal tentang pengabdian pekarangan (erfpachtbaarheid) pasal 674 - 710 BW
Pasal-pasal tentang Erfpacht pasal 711 - 719 BW;
Pasal-pasal tentang hak Erfpacht 720 - 736 BW;
Pasal-pasal tentang bunga tanah dan hasil sepersepuluh pasal 737 - 755 BW.
Pasal-pasal yang mengatur tentang Hipotik atas Tanah dan benda-benda yang ada di atas tanah.
Pasal-pasal yang masih berlaku tetapi tidak penuh, dalam arti tidak berlaku sepanjang mengenai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, masih tetap berlaku sepanjang mengenai benda-benda lain, ialah :
Pasal-pasal tentang benda pada umumnya;
Pasal-pasal tentang cara membedakan benda pasal 503 - pasal 505 BW;
Pasal tentang benda tidak mengenai tanah, terletak di antara pasal-pasal 529-568 BW;
Pasal tentang hak milik sepanjang tidak mengenai tanah, di antara pasal 570 BW;
Pasal-pasal tentang hak memungut hasil (Vruchtgebruuk) sepanjang tidak mengenai tanah pasal 756 BW;
Pasal tentang hak pakai tidak mengenai tanah, pasal 818 BW. (Sri Soedewi, 1975 : 4).
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, Boedi Harsono mengemukakan, "Kemudian semua pasal-pasal yang merupakan pelaksanaan atau berkaitan dengan pasal-pasal yang tidak berlaku lagi itu, meskipun tidak secara tegas dicabut dan letaknya diluar Buku II yaitu dalam Buku III dan Buku IV seperti pasal 1588 s/d 1600 tentang sewa menyewa tanah, dan pasal 195 dan 1963 tentang verjaring sebagai upaya untuk mndapatkan hak eigendom atas tanah tidak berlaku lagi. Demikian juga pasal 621,622 dan 623 BW yang mengatur tentang penegasan hak atas tanah yang menjadi wewenang Pengadilan Negeri, tidak berlaku lagi, karena tempatnya didalam Buku II, yakni pasal-pasal yang secara tegas dicabut oleh UUPA. Setelah berlakunya UUPA penegasan hak atas tanah harus menurut cara sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No.10 tahun 1961 tentang "Pendaftaran Tanah" yang telah dicabut dengan berlakunya PP No. 24 Tahun 1997 yang menentukan bahwa pemberian penegasan hak atas tanah itu dilakukan oleh Kepala Kantor Pendaftaran Tanah saat ini menjadi Badan Pertanahan Nasional” (B. Harsoeno, 1993 : 127 –131).
Undang-Undang Nasional di lapangan perdata yang juga cukup besar mengakibatkan tidak berlakunya lagi beberapa ketentuan dalam BW adalah Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan yang lahir pada tanggal 2 Januari 1974 ( LNRI 1974 No.1 ).Dengan adanya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 ini, maka pasal-pasal yang mengatur tentang perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan dalam Buku I BW, sepanjang telah diatur dalam Undang-Undang Pokok Perkawinan Nasional tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dalam Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan ini telah diatur tentang dasar perkawinan, syarat-syarat perkawinan, pencegahan perkawinan, batalnya perkawinan, perjanjian perkawinan, hak-hak dan kewajiban suami isteri, harta benda dalam perkawinan, putusnya perkawinan serta akibatnya, kedudukan anak, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, perwalian, pembuktian asal usul anak, perkawinan diluar Indonesia dan perkawinan campuran. Maka pasal-pasal Buku I BW yang mengatur mengenai hal-hal yang telah diatur dalam Undang-undang No.1 tahun 1974 tersebut tidak berlaku lagi yaitu sekitar pasal-pasal 26 s/d 418a (titel IV s/d XV). Bahkan pasal-pasal 419 s/d 432 (titel XVI) yang mengatur lembaga pendewasaan (Handlichting) menjadi tidak berlaku lagi, karena menurut pasal 47 Undang-undang No.1 tahun 1974 seorang anak yang berumur 18 tahun sudah dianggap dewasa, sehingga terhadap dirinya tidak perlu lagi dilakukan pendewasaan..
Sementara itu dengan lahirnya Undang-Undang No. 4 tahun 1961 yang mengatur tentang penggantian nama, yang disusul Instruksi Presidium Kabinet No. 31/U/IN/12/1966 tanggal 27 Desember 1966 dan dilengkapi Keputusan Presedium Kabinet No. 127/UKep/12/1966 tanggal 27 Desember 1966 yang diatur lebih lanjut dalam Surat Mendagri No. Pol.32/12/21 tanggal 9 Juli 1969 kepada para Gubernur dan Bupati/Walikota seluruh Indonesia maka pasal-pasal Buku I BW sepanjang mengenai hal yang sama yang telah diatur dalam Undang-Undang tersebut tidak berlaku lagi.
Dalam pada itu bagian-bagian dan pasal-pasal BW yang tidak berlaku lagi karena dikesampingkan dan mati karena putussan-putusan hakim yang merupakan yurisprudensi-yurisprudensi, agaknya tidak mungkin disebutkan satu-persatu di sini. Akan tetapi untuk menyebutkan sebagai contoh pasal-pasal atau ketentuan-ketentuan BW yang tidak berlaku lagi karena mati oleh yurisprudensi adalah pasal-pasal yang disebut dalam Surat Edaran Mahkamah Agung N0. 3/1963 yaitu pasal-pasal 108, 110, 284 ayat (3), 1682, 1579, 1238, 1460 dan 1603 x ayat (1) dan (2). Dengan adanya Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tersebut para hakim tidak merasa takut lagi untuk mengesampingkan pasal-pasal BW tersebut karena sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kemajuan masyarakat sekarang.
Ad.3.d. Hukum Perdata Bersifat Pelengkap dan Memaksa
Menurut kekuatan berlakunya atau kekuatan mengikatnya, hukum perdata dapat dibedakan atas hukum yang bersifat pelengkap (aanvullend recht) dan hukum yang bersifat memaksa (dwingend recht). Hukum yang bersifat pelengkap adalah peraturan-peraturan hukum yang boleh dikesampingkan atau disimpangi oleh orang-orang yang berkepentingan, peraturan-peraturan hukum mana hanyalah berlaku sepanjang orang-orang yang berkepentingan tidak mengatur sendiri kepentingannya. Misalnya dalam pasal 1477 BW ditentukan bahwa penyerahan harus terjadi di tempat dimana barang yang dijual berada pada waktu penjualan, jika tentang itu tidak telah ditentukan lain. Peraturan hukum ini bersifat pelengkap, sehingga orang-orang yang mengadakan perjanjian jual beli sesuatu barang boleh menyimpanginya dengan mengadakan perjanjian yang menentukan sendiri tempat dan waktu penyerahan tersebut. Pasal 1477 BW barulah mengikat dan berlaku bagi mereka yang mengadakan perjanjian jual-beli sesuatu barang, kalau mereka tidak menentukan sendiri secara lain.
Hukum yang bersifat memaksa adalah peraturan- peraturan hukum yang tidak boleh dikesampingkan atau disimpangi oleh orang-orang yang berkepentingan, terhadap peraturan-peraturan hukum mana orang-orang yang bekepentingan harus tunduk dan mentaatinya. Dalam pasal 39 Undang-undang No.1 tahun 1974 ditentukan bahwa "perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan berdasarkan alasan yang sah yang telah ditentukan". Peraturan hukum ini bersifat memaksa, sehingga suami isteri tidak boleh mengadakan perceraian sendiri di luar sidang pengadilan tanpa alasan yang sah yang telah ditentukan. Dengan demikian hukum perdata tidak selalu berisi peraturan-peraturan hukum yang bersifat pelengkap, meskipun hukum perdata itu merupakan bagian dari pada hukum yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan, dan pada galibnya dibidang ini berperan kehendak individu yang bersangkutan, melainkan ada peraturan-peraturan hukum yang bersifat memaksa, yang membatasi kehendak individu-individu tersebut. Hukum perdata yang bersifat memaksa merupakan hukum perdata yang mengandung ketentuan-ketentuan tentang ketertiban umum dan kesusilaan. Pada bidang-bidang yang menyangkut ketertiban umum dan kesusilaan inilah otonomi individu dibatasi.